Pengacara kondang Togar Situmorang, S.H., M.H., MAP., menyatakan sepakat jika hakim di tingkat pertama dalam menangani perkara dibagi sesuai spesialisasi.
“Perkembangan hukum yang pesat menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi hakim. Oleh karena itu, saya setuju dengan usulan jika hakim di tingkat pertama dalam menangani perkara dibagi sesuai spesialisasi, seperti pembagian kamar di Mahkamah Agung,” ucap Togar Situmorang, Selasa (21/04/2020), di Denpasar.
Ia kemudian mencontohkan di Pengadilan Negeri Denpasar. Di sana, kasus yang ditangani banyak tapi jumlah hakim cukup terbatas. Hakimnya juga diharuskan mengadili perkara pidana, perdata, tindak pidana korupsi, kasus hubungan industrial, dan lainnya. Jika selalu berubah-ubah, hasilnya tidak akan maksimal serta waktu sidang molor, sebab mindset tiap peradilan itu berbeda.
“Jika tiap hakim sudah ada spesialisasi, secara keilmuan juga akan lebih matang, dan putusan juga akan lebih berkualitas,” ujar advokat kelahiran Jakarta tahun 1966 ini.
Hakim memiliki tugas utama, yaitu menyelesaikan perselisihan hukum secara final dan terbuka, secara tidak langsung hakim menegaskan adanya supremasi hukum. Togar Situmorang mengatakan, seorang hakim dituntut untuk membuat putusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya di masyarakat.
Ia mengungkapkan, tidak gampang mengukur secara matematis, putusan hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak.
“Indikator itu dapat ditemukan di dalam pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam putusannya,” kata advokat berdarah Batak, Medan Sumatra Utara ini.
Saat ini, tak sedikit masyarakat bingung dan penasaran apakah hakim di Indonesia ini ada spesialisasinya atau tidak. Menurut CEO dan founder kantor hukum itu, masyarakat bingung karena melihat dengan mata telanjang bahwa hakim itu semua tidak ada spesialisasinya.
“Seperti halnya di kepolisian maupun kejaksaan serta pengacara yang ada spesialisasinya. Dan yang akan menjadi pertanyaan, apakah produk atau putusan yang dihasilkan oleh hakim tersebut objektif atau tidak,” tanyanya.
Secara formal, hakim memegang posisi yang sentral dalam dunia peradilan. Di tangannya nasib baik atau buruk mereka yang didakwa ditentukan. Togar Situmorang menyebut, hakim merupakan satu-satunya profesi di dunia yang mendapat sebutan ‘Wakil Tuhan’ atau ’Yang Mulia’. Dalam bahasa akademik sering disebut sebagai officium nobile (profesi luhur).
Sebagai contoh hakim pidana dengan hakim perdata. Dalam proses penyelesaian perkara pidana, putusan hakim selalu didasari pada surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu, putusan hakim juga tidak boleh terlepas dari fakta persidangan atau proses pembuktian selama masa persidangan.
“Peran hakim dalam mengadili suatu perkara pidana sangat penting ketika putusan atau vonis telah dibuat atau dibacakan. Putusan hakim sangat menentukan nilai suatu kebenaran dan menentukan salah atau tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang,” papar advokat yang dikenal dengan julukan Panglima Hukum ini.
Ia menerangkan, Pasal 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang perkara pidana.
“Hakim sebagai orang yang menegakkan hukum demi keadilan ketika hendak menjatuhkan putusan tetap berlandaskan pada aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan alat bukti yang sah serta para saksi yang telah disumpah di depan persidangan,” ungkap advokat dengan sederet prestasi dan penghargaan itu.
Ditambahkan, bahwa keyakinan hakim dalam hukum pidana menjadi suatu prasyarat yang harus ada bagi proses lahirnya suatu putusan (vonis). Hakim tidak boleh memutus suatu perkara dengan semata-mata menyandarkan diri pada fakta atau keadaan objektif yang terjadi pada suatu kasus.
“Oleh sebab itu hakim dalam kasus pidana harus betul-betul aktif dan harus menggunakan keyakinannya terhadap berbagai fakta dan keadaan objektif bahwa terdakwa memang bersalah. Juga ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan oleh hakim dalam putusannya,” pungkasnya.
Beda halnya seperti hakim perdata, keberadaan hakim pasif dan aktif tidaklah esensial. Pertanyaan mengenai asas mana yang berlaku saat ini atau asas mana yang lebih penting dalam hukum acara perdata tidak lagi menjadi persoalan.
“Secara normatif dan empiris, kedua asas tersebut sama-sama diterapkan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan,” ucap Ketua Hukum RS dr. Moedjito Dwidjosiswojo Jombang Jawa Timur ini.
Meskipun demikian, bukan berarti hubungan antara asas tersebut komplementer, keduanya sama-sama fundamental karena memiliki fungsinya masing-masing. Fungsi yang berbeda ini muncul karena hukum perdata sebagai hukum privat mengatur kepentingan antar individu mempunyai batasan yang sifatnya perseorangan.
“Persoalan ini muncul ketika pihak yang merasa dirugikan ingin kepentingan dan hak hukumnya terjamin,” sebut Ketua Pengkot Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Kota Denpasar ini. (red)