Bali Kehilangan Potensi Ekonomi dari Mikol, Ramia Adnyana: “Perpres 10/2021 beri peluang IKM/UMKM kembangkan minuman fermentasi rebut pasar global”

Penabali.com – Wakil Ketua Umum Kadin Bali Bidang Akomodasi dan Pengembangan Pariwisata, Dr. (C) I Made Ramia Adnyana, S.E., M.M., CHA., memberi apresiasi dan menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Pusat, yang telah mengeluarkan terobosan kebijakan baru berupa Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, yang ditetapkan tanggal 2 Februari 2021.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Lampiran III, angka 31, 32, dan 33 yang menetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.

“Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekuatan sosial dengan keberagaman masyarakat, dimana keberagaman ini harus mendapat perhatian dalam membangun bangsa dan negara untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan sejahtera. Indonesia harus mampu melindungi dan memberdayakan keberagaman guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa yang masing-masing mempunyai kearifan lokal. Oleh karena itu, Pemerintah sudah sepatutnya memiliki komitmen dan kebijakan untuk menghormati kearifan lokal masyarakat,” jelas Ramia di Denpasar, Senin (01/03/2021).

Menurut Ramia, dalam konstitusi, Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Pemerintah terus memperbaiki keadilan dan kepastian hukum dalam praktik penegakan hukum guna memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Oleh karena itu, legalitas dalam produksi, pendistribusian, dan konsumsi produk-produk lokal yang selama ini dilakukan secara illegal, penyelenggaraannya dari hulu sampai hilir harus ditata dan dikontrol secara transparan.

Produk berbasis kearifan lokal yang tidak teregistrasi dan diproduksi tanpa menggunakan standar kesehatan akan membahayakan kesehatan dan merugikan masyarakat. Sudah banyak kejadian yang menjadi contoh, dimana masyarakat mengkonsumsi produk-produk lokal yang illegal, telah mengakibatkan korban jiwa di masyarakat.

Ia melanjutkan, bahwa Perpres Nomor 10 Tahun 2021 merupakan terobosan kebijakan yang berpihak pada penguatan ekonomi berbasis kearifan lokal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil.

“Oleh karena itu, masyarakat Bali sangat mendukung terbitnya Perpres tersebut,” kata Ramia yang juga Wakil Ketua Umum DPP IHGMA.

Masyarakat Bali memiliki kearifan lokal, bahwa hidup harus berdampingan dan dekat dengan alam, apa yang tumbuh di alam lingkungannya itulah yang dijadikan sebagai anugerah kehidupannya. Sejumlah wilayah di Bali secara alamiah dianugerahi dengan tumbuhnya pohon kelapa, enau (jaka), dan rontal (ental) yang secara tradisional dapat menghasilkan tuak (minuman tradisional) sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat setempat. Hal ini telah berlangsung secara turun-temurun. Masyarakat setempat telah mampu mengolah tuak secara tradisional menjadi arak dan gula Bali.

Ia mengungkapkan, arak Bali memiliki cita rasa yang khas dan nikmat sesuai dengan lokasi tempat tumbuh tanaman kelapa, enau, dan rontal. Arak tradisional Bali secara turun temurun telah digunakan sebagai obat tradisional, sarana upakara, dan dikonsumsi langsung sebagai minuman oleh masyarakat. Masyarakat setempat telah biasa mengkonsumsi arak secara rutin dan tertib sebanyak setengah sampai satu sloki sehari dan telah terbukti menjaga stamina dan menyehatkan.

“Artinya, para tetua di Bali telah mewariskan tradisi minum arak secara teratur untuk kepentingan kesehatan, bukan minum secara berlebihan yang mengakibatkan mabuk. Bahkan pada jaman dahulu, para raja di Bali menjadikan arak sebagai jamuan khusus menyambut tamu kehormatan,” ungkap Ramia.

Berdasarkan pengetahuan dan tradisi tersebut, arak Bali tidak saja dapat dimanfaatkan untuk minuman yang menyehatkan sehari-hari bagi masyarakat Bali, tetapi bisa dikembangkan menjadi industri minuman khas Bali berkelas dunia seperti Sake di Jepang, Soju di Korea, Wiskey di Eropa, Votka di Finlandia, Vodka di Rusia, dan Teuqilla di Mexico.

“Ini sangat tepat bagi Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia, sehingga akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Bali,” sebutnya.

Di dalam referensi kuno pengobatan tradisional Bali Lontar Usadha, arak Bali banyak digunakan sebagai bahan obat tradisional dengan menggunakan uapnya, diminum langsung, atau menambahkan ramuan lainnya ke dalam arak sebagai pelarut pengekstrak senyawa aktif obat tradisional, sejak dahulu sampai sekarang. Bahkan masyarakat Bali telah menggunakan arak dan brem Bali sebagai sarana upakara keagamaan yang sudah berlangsung dari dulu sampai sekarang.

Ramia menyatakan, Pemerintah Provinsi Bali telah menerapkan visi dengan program perekonomian dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang berbasis kearifan lokal, seperti tuak Bali, arak Bali, brem Bali, dan produk artisanal dengan memberlakukan kebijakan yang dituangkan melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali.

Dengan diberlakukannya Pergub ini, maka kelembagaan dan distribusinya ditata dan dikontrol, sehingga tidak terjadi pemanfaatan dan penyalahgunaan secara bebas.

“Pergub ini sifatnya menata bukan melarang. Petani arak harus diwadahi dalam lembaga Koperasi Produsen Petani Arak, hasil produksi harus mendapat legalitas dari Badan POM yang didaftarkan melalui industri yang telah berizin,” jelasnya.

Karena itu, hadirnya Pergub ini mendapat respon positif dari para perajin arak tradisional Bali dan komponen masyarakat lainnya karena memberi harapan baru dan kepastian yang telah lama dinantikan. Para perajin Arak Bali mulai menggeliat dan bergairah untuk berproduksi, karena telah mulai terjadi peningkatan permintaan konsumen, sehingga pendapatan mereka meningkat. Gubernur Bali telah menerapkan arah kebijakan, pengembangan industri arak diprioritaskan melalui lembaga Industri Kecil dan Menengah (IKM) dan UMKM.

Secara nasional minuman beralkohol 80% beredar di Bali, karena Bali merupakan daerah kunjungan wisatawan nusantara dan wisatawan manca negara yang membutuhkan minuman beralkohol cukup tinggi. Selama ini kebutuhan minuman beralkohol di Bali dipenuhi oleh produk import (92%), hanya 8% diproduksi di Bali. Hal ini terjadi karena usaha minuman beralkohol termasuk di Bali masuk dalam daftar negatif investasi.

Data Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu Tahun 2019 menyebutkan bahwa penerimaan cukai industri minuman beralkohol sebesar 7,06 Triliun Rupiah. Hal ini berasal dari 80% minuman import senilai 5,648 Triliun Rupiah. Ramia mengatakan, dengan demikian sangat jelas Bali telah kehilangan potensi ekonomi yang bersumber dari minuman beralkohol.

Ia mengungkapkan, dengan berlakunya Perpres Nomor 10 Tahun 2021, telah memberikan peluang usaha bagi masyarakat Bali melalui IKM dan UMKM untuk mengembangkan minuman fermentasi dan atau destilasi khas Bali guna memenuhi kebutuhan pasar domestik, dan pasar bagi wisatawan, serta ekspor. Dengan berlakunya Perpres ini juga akan memperkuat pelaksanaan Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020, semakin memberi keyakinan dan kepastian masa depan usaha bagi masyarakat Bali, yang telah menjadi harapan sejak lama.

“Dengan berlakunya ini, maka pemenuhan kebutuhan minuman beralkohol tidak lagi bergantung dari produk impor, tetapi dapat dipenuhi oleh pelaku IKM dan UMKM masyarakat Bali, sehingga dapat meningkatkan nilai perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Bali dengan melindungi dan memberdayakan kearifan lokalnya. Sehingga segera dapat dilakukan upaya untuk mengembalikan kehilangan potensi ekonomi akibat produk impor yang telah lama berlangsung di Bali,” tutup Ketua DPD Masata Bali ini. (red)