Categories Denpasar Teknologi

“Bali Clean and Green: Energi Surya untuk Bali” IESR: Langkah Progresif Gubernur Bali Menuju Bali Energi Bersih, Harus Didukung

Penabali.com – Dalam pengembangan energi bersih, Gubernur Bali Wayan Koster telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Energi Bersih. Salah satu poin yang termuat dalam peraturan tersebut adalah bangunan pemerintah pusat dan daerah di Bali serta bangunan komersial industri, sosial, dan rumah tangga dengan luas lantai lebih dari 500 meter persegi diwajibkan untuk memasang sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Dalam potensi pemanfaatan energi surya tersebut, dan memaparkan kajian IESR tentang adopsi PLTS atap di Bali, CORE Udayana dan IESR menyelenggarakan media briefing, Jumat (05/3/2021), di Denpasar. Hadir dua orang narasumber, yakni Kepala CORE Udayana Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari, PhD., dan Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kepada awak media, Fabby Tumiwa dalam paparannya menerangkan, PLTS memungkinkan diwujudkan apalagi sudah didukung regulasi Pergub Bali 45/2019 yang mensyaratkan bangunan-bangunan diatas 500 meter persegi menggunakan PLTS Atap, atau paling tidak 20 persen dari luas bangunan dan juga bangunan pemerintah sesuai PP Nomor 22 Tahun 2017.

“Saya optimis Bali mandiri energi bisa terpenuhi jika pergub itu benar-benar dilaksanakan dengan roadmap atau peta jalan yang jelas sehingga stakeholder bisa tahu apa yang harus dilakukan termasuk PLN karena perencanaan sistem PLN harus disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul di masyarakat,” terang Fabby.

Ia mengatakan, Indonesia memperoleh sinar matahari merata sepanjang tahun dengan intensitas iradiasi mencapai 3,6 – 6 kWh/m2/hari dan PV output 1.170 – 1.530 kWh/kWp (Bank Dunia & Solargis, 2017). Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah menetapkan target 6,5 GW pembangkitan listrik dari energi surya pada tahun 2025 dan 45 GW pada tahun 2050. Meski demikian, pengembangan energi surya di Indonesia saat ini masih terbatas.

Hingga akhir tahun 2020, total kapasitas terpasang pembangkit listrik surya baru mencapai 181 MW (IESR, 2021), sedangkan RUPTL PLN 2019 – 2028 hanya menargetkan pembangunan 2 GW PLTS hingga 2028, dan RUPTL baru belum dikeluarkan.

“Saya kira PLN cukup positif merespon ini karena pasokan energi baru terbarukannya cukup besar, maka PLN diuntungkan karena bisa kurangi biaya produksi listrik dengan mengoptimalisasi bauran termasuk beban pada pembangkit listrik tenaga disel dan gasnya,” ucapnya seraya berharap Pemprov Bali bisa lari lebih cepat merealisasikan Pergub 45/2019 tersebut.

Dalam rangka mendorong pemanfaatan energi surya, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) juga mewajibkan bangunan pemerintah untuk menggunakan PLTS Atap sebesar 30% dari luasan atap, dan 25% pada bangunan rumah mewah. Ketentuan ini dapat mendorong pemanfaatan energi surya, sekaligus pasar teknologi pembangkit energi surya, namun masih lemah dalam penerapannya.

Fabby menyatakan, pada tahun 2019 Gubernur Bali telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Energi Bersih dan Kendaraan Listrik, yang menjadi salah satu strategi untuk mewujudkan visinya yakni “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”. Fabby menyebut produk hukum mengenai energi bersih ini disusun mandiri oleh Pemerintah Provinsi Bali dan merupakan langkah progresif untuk menjawab kebutuhan energi Bali dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan setempat.

Dalam pergub ini, pembangkitan listrik tidak hanya difokuskan pada pembangkit skala besar, melainkan juga perlu menitikberatkan pada pembangkit berskala komunal atau individu. Selain rumah tangga (residensial), sektor industri dan komersial juga merupakan target yang potensial, simulasi IESR menunjukkan adanya potensi rooftop solar hingga 25,9 MWp hanya untuk hotel bintang 5 di kawasan Nusa Dua dan Kuta.

Potensi rooftop solar (PLTS atap) untuk bangunan publik dan fasilitas umum di Bali berdasarkan simulasi IESR juga terbilang tinggi, mencapai 15,6 MWp. Pergub Bali Energi Bersih ini juga telah memuat pewajiban bangunan dengan luasan tertentu, baik bangunan publik atau swasta, untuk memasang rooftop solar.

Dengan target pengembangan energi surya sebesar 50 MW pada tahun 2025 sesuai Rancangan Umum Energi Daerah Bali, PLTS Atap dapat berkontribusi secara signifikan. Selain pemerintah, kelompok konsumen rumah tangga, bisnis/komersial, dan industri juga merupakan grup target yang potensial.

Sebagai sumber energi terbarukan yang demokratis dan dengan semakin berkembangnya teknologi serta layanan penyediaan energi surya, masyarakat punya andil dalam memanfaatkan sumber energi ini. Perhitungan potensi teknis energi surya residensial (rumah tangga) di Indonesia yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa dengan skenario tertinggi yang digunakan, Indonesia memiliki potensi 655 GWp (IESR, 2019).

Fabby mengungkapkan, Studi pasar yang dilakukan IESR di 3 kota di Bali juga menunjukkan adanya minat dari kelompok rumah tangga (residensial), bisnis/komersial, dan UMKM untuk menggunakan PLTS atap.

“Saya salut dengan orang Bali. Mereka sangat peduli terhadap lingkungan dan mau berinvestasi pakai PLTS Atap ini,” terang Fabby.

Meski demikian, terdapat sejumlah tantangan untuk adopsi PLTS atap secara masif. Pengetahuan dan pemahaman teknologi PLTS masih minimal, juga tingkat literasi dan kesadaran masyarakat. Sosialisasi dan dorongan kepada pemerintah kabupaten/kota terkait regulasi juga harus terus dilakukan.

Tentang IESR

Institute for Essential Service Reform (IESR) merupakan sebuah lembaga riset dan advokasi yang berlokasi di Jakarta dan bergerak dalam 4 isu besar, yaitu transformasi sistem energi, akses energi berkelanjutan, ekonomi hijau, dan mobilisasi berkelanjutan.

“Dalam salah satu fokus kerja kami melalui program akses energi berkelanjutan, sejak tahun 2019 IESR aktif melakukan kajian terkait pemanfaatan energi bersih, khususnya melalui teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik Atap (PLTS Atap) di Provinsi Bali,” katanya.

Beberapa studi yang dilakukan melingkupi “Perhitungan Potensi Teknis PLTS Atap pada Bangunan Pemerintah di Provinsi Bali” guna mendorong implementasi mandat pemasangan 30% luas area atap bangunan pemerintah dalam RUEN sebagaimana dicanangkan dalam Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017.

“Kami juga telah melakukan ‘Studi Adopsi dan Persepsi Pasar terhadap PLTS Atap untuk Sektor Komersial dan UMKM’ pada tahun 2020,” ungkapnya sembari mengatakan pengetahuan, pemahaman teknologi PLTS, juga tingkat literasi dan kesadaran masyarakat harus lebih gencar diedukasi sehingga akan mendorong pemerintah kabupaten/kota segera merealisasikan Pergub Bali tersebut. (red)