Webinar Golkar Bali Soal Pemajuan LPD, Prof Ramantha: “Tidak boleh ada manajemen one man show”

Denpasar (Penabali.com) – Secara historis, LPD atau Lembaga Perkreditan Desa awalnya dibentuk dengan Keputusan Gubernur Provinsi Bali No. 972 Tahun 1984 tertanggal 1 Oktober 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Bali.

Sebagai pilot project saat awal untuk setiap kabupaten/kota didirikan satu unit LPD sehingga di Bali saat itu ada 8 LPD. Dengan bantuan dari United States Agency For International Development (USAID) berupa bantuan tenaga ahli atau konsultan dan sarana pendidikam serta biaya pengawasan dari tahun 1990 – 1992 yang dilanjutkan dengan bantuan dari APBD Provinsi Bali sampai akhir tahun 1996, LPD telah tumbuh menjadi 849 unit dari 1.365 desa adat di Bali saat itu, atau tumbuh 62,2%. Sampai akhir tahun 1997, perkembangan jumlah LPD dan desa adat di seluruh kabupaten dan kota di Bali mencapai 904 LPD dengan 1.371 desa adat.

Sedangkan sampai akhir tahun 2014, LPD telah berkembang menjadi 1.422 unit dan pada tahun 2015 menjadi 1.433 LPD dan telah menyerap tenaga kerja sebanyak 7.811 orang dengan total aset sebesar Rp.14,691 triliun lebih.

“Saat ini ada 1.436 LPD di Bali,” kata Ketua BKS-LPD Bali I Nyoman Cendikiawan saat ditemui usai menjadi salah satu narasumber dalam acara webinar tentang pemajuan LPD dari aspek regulasi, kelembagaan, dan keuangan yang diselenggarakan DPD Partai Golkar Provinsi Bali melalui Bakumham Golkar Bali, bertempat di Sekretariat Golkar Bali Jalan Surapati No.9 Denpasar, Jumat (20/08/2021).

Cendikiawan menyampaikan data LPD di Bali per 30 Juni 2021 menunjukkan dari jumlah 1.436 LPD total tabungan mencapai Rp.8,5 triliun, deposito Rp.10,6 triliun, pinjaman Rp.15,8 triiun, laba Rp.136 miliar, asset Rp.23 triliun, dan jumlah karyawan mencapai 8.243 orang.

Dalam perjalanan LPD di Bali mengalami pasang surut. Ada LPD yang mengalami kebangkrutan, ada juga LPD yang masuk kategori tidak sehat, namun tak sedikit pula LPD yang kondisi keuangannya masuk kategori sehat. Semuanya tersebar di 9 kabupaten/kota di Bali.

Cendikiawan lantas menekankan pentingnya LPD agar mampu menjaga kondusifitas internal dan eksternal, menjaga likuiditas, dan kontinyuitas usaha.

“Karena sebesar apapun likuiditas kalau tidak didukung kondusifitas maka juga jadi masalah. LPD yang sehat kuat, produktif dan berkelanjutan, bisa kita wariskan untuk anak cucu, bermanfaat bagi desa adat dalam pembangunan fisik maupun non fisik,” pungkasnya.

Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. Nyoman Sugawa Korry dalam sambutannya saat membuka webinar ini menyampaikan pendirian LPD yang diprakarsai Gubernur Bali Prof. IB Mantra (almarhum) pada tahun 1984 ditujukan untuk mendukung desa adat sebagai lembaga keuangan di desa adat yang harus dikelola secara modern.

(ki-ka): Ketua Bakumham Golkar Bali DAP Sri Wigunawati, narasumber I Nyoman Cendikiawan, narasumber Prof. Ramantha, Ketua Golkar Bali Sugawa Korry, moderator Dewa Suamba Negara, dan pengurus harian Golkar Bali Komang Suarsana. (Foto: ist.)

Ia menegaskan LPD secara historis lembaga yang didirikan untuk menopang desa adat. Kekuatan desa adat sangat dipengaruhi oleh eksistensi dan keberhasilan pengelolaan LPD. Faktanya LPD yang berhasil akan memperkuat desa adat dan begitu sebaliknya.

“LPD yang sehat dan kuat bermuara pada kuatnya desa adat dan kuatnya masyarakat Bali,” ujar Sugawa Korry.

Wakil Ketua DPRD Bali ini juga melihat ada keinginan untuk mengembalikan LPD kepada jati dirinya, marwahnya, yang tentunya juga diikuti oleh pembenahan sistem tata kelolanya baik itu kelembagaannya, keuangannya, maupun sumber daya manusianya termasuk dari aspek regulasinya.

“Muaranya adalah akan terwujudnya LPD sebagai lembaga sosial, lembaga ekonomi, dan lembaga religius,” ujar Sugawa Korry.

Narasumber lainnya, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Prof. Dr. I Wayan Ramantha, S.E., M.M., Ak., dalam pemaparannya dari aspek ekonomi sosiologis menyatakan perlu dilakukan perbaikan tata kelola yang lebih baik dari hasil pemeriksaan keuangan atau audit keuangan terhadap LPD. Ia juga mengatakan harus ada saling kontrol didalam pengendalian internal LPD.

“Tidak boleh ada manajemen dagang sate artinya one man show. Yang namanya bendahara pegang uang, pembukuan oleh sekretaris, ketua tanda tangan. Jangan yang mencatat ketua yang mengambil uang ketua ini tidak boleh terjadi. Harus ada saling kontrol. Jadi struktur organisasinya sudah bagus tapi implementasinya perlu diperbaiki secara baik dan benar,” jelas Prof. Ramantha.

Ekonom Bali ini juga menekankan perlu penyempurnaan alat ukur kinerja LPD dari CAMEL (Capital, Asset, Management, Earning, Liquidity) menjadi CAMEL’S dengan memasukkan/menambahkan indikator Social Performance (Kinerja Sosial).

Dikatakan Perda dan Pergub LPD mengukur kinerja LPD dengan indikator-indikator keuangan saja. Hanya mengukur aspek CAMEL (Capital, Asset, Management, Earning, Liquidity). Menurutnnya, dari tahun 1984 sepantasnya kinerja LPD diukur dengan aspek CAMEL’S, ditambah S (Social Performance).

“Dengan CAMEL pola pikir insan LPD akan menjadi BAU (Business As Usual). Dengan CAMEL’S pengurus dan pengawas LPD akan dapat menyelaraskan aktivitas sosial dan aktivitas komersial sebagai Social Enterprise,” paparnya. (red)