Denpasar (Penabali.com) – Terbitnya SE ini didasari 4 pertimbangan yakni Filosofis, Sosiologis, Kultural, dan Empiris. Secara filosofis, produk garam tradisional lokal Bali merupakan produk berbasis ekosistem alam Bali dan pengetahuan warisan leluhur sebagai budaya kreatif krama pesisir Bali yang wajib dilindungi, dilestarikan, dan diberdayakan, serta dimanfaatkan guna memperkokoh jati diri krama Bali yang berkarakter dan berintegritas sesuai dengan Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru.
Lalu pertimbangan secara sosiologis, jelas Gubernur Koster, produk garam tradisional lokal Bali telah dikenal sebagai garam yang higienis, berkualitas tinggi, dan memiliki cita rasa yang khas, sehingga telah terbukti aman dikonsumsi oleh krama Bali secara turun-temurun, telah memperoleh pengakuan, dan diminati di dunia kuliner, serta telah dipasarkan secara nasional dan internasional melalui marketplace, dan telah diekspor antara lain ke Jepang, Korea, Thailand, Prancis, Swiss, Rusia, dan Amerika Serikat.
Secara kultural, produk garam tradisional lokal Bali di wilayah Kusamba Kabupaten Klungkung, Amed dan Kubu Kabupaten Karangasem, wilayah Tejakula dan Pemuteran Kabupaten Buleleng, wilayah Gumbrih Kabupaten Jembrana, wilayah Kelating Kabupaten Tabanan, dan wilayah Pedungan dan Pemogan Kota Denpasar, telah ada sejak berabad-abad yang lalu, dan masih aktif digeluti sebagai sumber penghidupan bagi krama pesisir di Bali.
Kemudian dasar pertimbangan secara empiris, produk garam tradisional lokal Bali yang diproduksi di wilayah Kusamba Kabupaten Klungkung dan wilayah Amed Kabupaten Karangasem telah dicatatkan dan mendapat pelindungan Indikasi Geografis (IG) dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, masing-masing Nomor 06/IG/IX/2015 tanggal 22 September 2015 dan Nomor 003/F-IG/I/A/2020 tanggal 3 Januari 2020.
“Sejak lama, Bali dibanjiri produk garam impor yang dikonsumsi krama Bali dan dimanfaatkan oleh hotel dan restoran di Bali, serta dipasarkan oleh pasar modern yang mengancam keberadaan produk garam tradisional lokal Bali, sehingga menurunkan sumber perekonomian dan pendapatan krama Bali yang berdampak pada semakin ditinggalkannya kehidupan sebagai petani garam tradisional,” tutur Koster di Denpasar, Selasa (28/09/2021).
Karena itu, tegasnya, pemerintah, pelaku usaha, dan krama Bali harus berpihak dan berkomitmen terhadap sumber daya lokal dengan berperan aktif untuk melindungi, melestarikan, memberdayakan, dan memanfaatkan produk garam tradisional lokal Bali sebagai salah satu basis pengembangan perekonomian Bali untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan krama Bali secara sakala-niskala.
Guna membangkitkan kembali semangat petani garam tradisional lokal Bali, maka dalam SE Gubernur Bali ini dihimbau untuk menggunakan produk garam tradisional lokal Bali untuk dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari serta untuk kebutuhan spesifik sesuai kearifan lokal Bali, diperdagangkan di seluruh wilayah Bali, di luar Bali, dan di ekspor ke mancanegara. Serta, mendorong dan memfasilitasi pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM), Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), dan koperasi sebagai lembaga usaha bagi krama Bali dari hulu sampai hilir guna meningkatkan produksi garam tradisional lokal Bali, serta memfasilitasi pemasaran dan pemanfaatannya sebagai basis pengembangan ekonomi kreatif, sehingga memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaan krama Bali secara sakala-niskala.
“Kedepan, sejalan dengan Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, pola ini akan diterapkan dalam pengembangan perekonomian yang diselenggarakan oleh setiap pelaku usaha di Bali dengan menekankan berlakunya prinsip dasar membangun Bali, bukan membangun di Bali,” tegasnya. (rls)