Denpasar (Penabali.com) – Pandemi Covid-19 memberikan dampak negatif yang cukup besar bagi perekonomian UMKM industri kreatif. Hasil penelitian SBM ITB (2020) menemukan bahwa 98% pelaku industri kreatif merasakan dampak negatif dan 67% diantaranya mengalami penurunan penjualan.
Guna mengangkat sekaligus mendorong UMKM Indonesia mampu “naik kelas” ditengah pandemi, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali menyelenggarakan talkshow dengan topik “Breaking Through The Japanese Fashion Industry”, Senin (04/10/20201). Talkshow ini sebagai rangkaian acara “Bali Jagadhita Culture Week 2021” (BJCW 2021).
Acara ini dilaksanakan secara daring dan dihadiri para peserta kompetisi desain batik, perwakilan Anggota Dharma Wanita se-Indonesia, serta UMKM dari wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Tujuannya untuk memperluas wawasan pelaku UMKM bidang fesyen Tanah Air, serta mendorong inovasi dan ekspor ke pasar Jepang.
Yunita Resmi Sari selaku Kepala Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia menjelaskan bahwa talkshow ini selaras dengan event tahunan Bank Indonesia, yaitu Karya Kreatif Indonesia (KKI) yang mengangkat tema “Sinergi, Globalisasi, dan Digitalisasi UMKM dan Sektor Pariwisata”.
Bank Indonesia memiliki 3 pilar kebijakan pengembangan UMKM yaitu korporatisasi, kapasitas, dan pembiayaan. Kegiatan BJCW 2021 merupakan wujud nyata pilar kapasitas yang Bank Indonesia laksanakan melalui sinergi dalam upaya mendorong peningkatan akses pasar produk UMKM, baik di pasar domestik maupun luar negeri. Sari berharap kegiatan ini dapat mendorong UMKM lokal untuk bisa berinovasi dan bertahan di masa pandemi.
Ketua Dharma Wanita Persatuan KBRI Tokyo, Nuning Akhmadi, menyatakan bahwa industri fesyen di Jepang merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Pasalnya, Jepang merupakan rumah bagi merek fesyen global yang melayani beragam permintaan konsumen, mulai dari pakaian kasual hingga fesyen mewah kelas atas. Hal inilah yang menjadikan persaingan industri fesyen di Jepang sangat ketat sehingga produk yang dipasarkan harus unik, berkualitas tinggi, dan modis untuk menarik minat konsumen Jepang. Karakteristik ini membuat pemasok asing beranggapan bahwa pasar Jepang sangat sulit untuk ditembus.
Nuning juga menyampaikan bahwa Kimono yang merupakan pakaian tradisional Jepang juga terdampak oleh tren fashion mode barat. Hal inilah yang mengakibatkan Kimono hanya dipakai di acara-acara khusus.
Oleh karena itu, Lomba Desain Batik Indonesia–Jepang diadakan dengan memadukan ragam motif Indonesia dan unsur seni budaya Jepang sehingga warisan budaya fesyen Kimono dapat tetap lestari, serta masyarakat Jepang juga dapat mengenal fashion batik yang berasal dari Indonesia.
Beberapa pakar fesyen yang hadir sebagai narasumber pada talkshow ini yaitu Naoko Abe (pemenang Desain Batik Indonesia-Jepang), Fusami Ito (perwakilan Cross Cultural Artisan Association), Ichikawa Nami (Owner Kecak Co. Ltd), dan Ririko Takano (Owner of Riri & Dot). Secara khusus, Ichikawa Nami mengajak UMKM di Jepang maupun di Indonesia untuk melihat potensi keindahan dalam karya batik Indonesia dan memadukkannya dengan Kimono. Nami menyatakan bahwa batik kimono sudah banyak digemari oleh pecinta kimono dan biasa digunakan untuk berbagai macam kegiatan di Jepang dan menurutnya batik kimono sangatlah cocok digunakan pada musim panas.
Senada dengan pemaparan narasumber sebelumnya, Ririko Takano menambahkan bahwa untuk menembus pasar Jepang yang besar dan kompetitif, para pengusaha harus mengutamakan sustainability dalam penjualan produknya dimana konsumen Jepang gemar membeli produk yang berkelanjutan dalam penjualannya. Ririko berharap, dengan adanya talkshow ini, para pelaku usaha mendapatkan pengetahuan mengenai cara menembus pasar fashion di Jepang, menentukan target pasarnya dan pengetahuan pengelolaan bisnis yang berkelanjutan sehingga dapat berhasil menjalankan usahanya. (rls)