Walikota Rai Mantra: Mengarak Ogoh-ogoh dengan Soundsystem Mengaburkan Budaya Bali

Pemkot Denpasar sangat mengapresiasi kreatifitas dan inovasi generasi muda sekeha teruna teruni (STT) dalam membuat ogoh-ogoh menyambut Hari Raya Nyepi. Meski demikian, Pemkot juga ingin mengingatkan bahwa ada himbauan yang juga patut diikuti khususnya terkait bahan pembuatan ogoh-ogoh dan saat pengarakan ogoh-ogoh pada malam pengerupukan.

Penggunaan styrofoam pada bahan pembuatan ogoh-ogoh. Meski bahan ini dianggap sebagai modernisasi, namun bukan berarti harus mengabaikan unsur seninya.

“Ini bukan tentang bagaimana modern atau tidak modern, melainkan ikut serta dalam memberikan edukasi dan penyadaran bahwa penggunaan soundsystem dan stayrofoam tidaklah tepat dalam menyambut hari suci Nyepi, dan kami menggandeng semua pihak termasuk para seniman dan undagi agar ikut memberikan pemahaman” kata Walikota IB Rai Dharmawijaya Mantra, saat berdiskusi dengan seniman ogoh-ogoh Denpasar seperti Keduk, Marmar, serta perwakilan STT dan komunitas, di Denpasar, Jumat (1/2) malam.

Diskusi ini juga dihadiri undagi ogoh-ogoh terkenal asal Tampaksiring yang akrab disapa Gusman, undagi layang-layang dan seniman tua ogoh-ogoh di Kota Denpasar.

Menurut Walikota Rai Mantra, penggunaan styrofoam dari sisi modern pada sebuah karya seni ogoh-ogoh memang mampu memberikan unsur seni yang berkualitas. Namun demikian, dari sisi kesehatan, styrofoam tidaklah direkomendasikan. Karena itu, bahan pembuatan ogoh-ogoh sebaiknya memakai bahan yang ramah lingkungan, sehingga unsur seni dan budaya Bali jadi lebih terlihat, karena disana budaya “ngulat” akan terjaga.

Kemudian musik pengiring saat pengarakan ogoh-ogoh sebaiknya menggunakan alat musik tradisional Bali seperti baleganjur, kentongan maupun tektekan ataupun instrumen musik tradisional Bali yang lain. Walikota Rai Mantra menambahkan, dengan penggunaan intrsumen tradisional akan memberikan ruang bagi generasi muda untuk memahami seni murni yang merupakan warisan leluhur.

“Generasi muda harus mengerti dan paham dengan seni dan budaya asli sesuai dengan pakemnya, inilah yang kami khawatirkan ketika nanti penggunaan soundsystem menjadi budaya baru yang justru mengaburkan budaya asli bali” pungkas Walikota.

Sementara itu, seniman Ogoh-ogoh asal Banjar Gemeh, Putu Marmar Herayukti, dan seniman ogoh-ogoh asal Banjar Tainsiat I Komang Gde Sentana Putra alias Kedux, juga sependapat dengan Walikota Rai Mantra. Keduanya mengatakan hal yang sama, bahwa dengan membumikan budaya “ngulat” dan musik tradisional Bali sebagai musik pengiring, akan membangun semangat gotong royong.

“Selain karya seni dan kreatifitas menyambut hari suci Nyepi, rasa menyama braya yang sudah diwarisakan leluhur juga harus tetap kita jaga bersama,” jelas Keduk yang kerap membuat ogoh-ogoh fenomenal dan juga pemilik dari Master Peace Kedux Garage ini.

“Kami konsisten menolak itu karena dirasa kurang tepat,” imbuh Marmar. (red)