Jakarta (Penabali.com) – Sidang gugatan atas UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (12/10/2021) menghadirkan dua ahli dari pihak Pemohon untuk menjelaskan praktik pengaturan ganja medis di kawasan Asia, terutama Korea Selatan (Korsel) dan Thailand.
Para pemohon yang menempuh uji materi agar narkotika golongan satu bisa dimanfaatkan untuk pengobatan lumpuh otak anak-anaknya sesuai UUD 1945 mengajukan Rev. Sung Seok Kang, seorang tenaga ahli di Korean Cannabis Organisation yang terlibat dalam proses kebijakan ganja di negeri ginseng tersebut. Selain Kang, pihak Pemohon juga menghadirkan Pakakrong Kwankhao, Wakil Direktur Institusi Ganja Medis di Kementerian Kesehatan Thailand.
Kang menjelaskan proses advokasi yang cukup panjang agar ganja bisa dimanfaatkan secara medis di Korsel. Sebelumnya, bersama tim ahli internasional, mereka menyusun rekomendasi perubahan kebijakan ganja berbasis penelitian serta rekomendasi WHO kepada Parlemen Korea Selatan.
UU Narkotika Korsel pun mengizinkan pemanfaatan ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan pada 2018. Atas perubahan kebijakan itu, pemerintah menyusun peraturan dan mekanisme lembaga negara tertentu yang menerbitkan izin bagi praktisi medis untuk meresepkan obat-obatan berbahan ganja. Lembaga tersebut juga berwenang menunjuk gerai farmasi dan toko obat yang bisa menerima resep tadi untuk diserahkan ke pasien.
Dengan mekanisme tersebut, pemanfaatan ganja untuk pengobatan terkontrol dan terawasi pemerintah. Warga yang memperoleh ganja di luar mekanisme ini ditetapkan sebagai pelanggar UU Narkotika Korsel. Kang menekankan, pengaturan ganja medis oleh pemerintah dilakukan demi kepentingan pasien dan keluarganya.
Ahli selanjutnya, Pakakrong Kwankhao menjelaskan tentang penerapan kebijakan pemanfaatan ganja medis di Thailand untuk penelitian dan pelayanan kesehatan sejak 2019.
Jadi selain untuk pengobatan tradisional/herbal, saat ini obat-obatan berbahan ganja (ekstrak THC, CBD, maupun kombinasi keduanya) termasuk dalam produk obat-obatan esensial nasional. Dengan demikian, seluruh pasien yang memenuhi syarat dapat memperolehnya di rumah sakit-rumah sakit maupun layanan kesehatan lainnya di antero negeri. Pedoman pun diterbitkan otoritas kesehatan Negeri Gajah Putih itu demi menjamin keamanan pengobatan berbasis ganja baik secara konvensional maupun tradisional.
Meski bukan pilihan utama, namun bila seluruh pengobatan standar tidak membuahkan hasil, maka dokter dan tabib dapat meresepkan ganja medis untuk memperbaiki kondisi pasien. Tenaga kesehatan yang meresepkan ganja medis wajib melaporkan efektifitas dan efek samping setiap pengobatan tersebut pada Badan Pengawas Obat-obatan Thailand.
Kwankhao yang bergelar doktor ini juga menunjukkan bukti ilmiah gambaran peningkatan kualitas kesehatan yang signifikan dari pasien-pasien neuropati dan kanker (tahap lanjut) yang diresepkan ganja medis.
Mekanisme pengendalian ganja di sana menekankan seluruh kegiatan penelitian dan pengobatan berbasis tanaman ganja harus mendapat izin dari Komite Narkotika Nasional Thailand. Ekosistem untuk menjamin keamanan publik, seperti mencegah penyalahgunaan juga telah disediakan. Mereka melatih tenaga-tenaga medis dan mewajibkan registrasi kewenangan peresepan ganja untuk pengobatan, menjamin kualitas obat-obatan ini, memanfaatkan sistem data elektronik dalam pemantauan penggunaan serta deteksi penyalahgunaannya yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan Thailand.
Atas diresmikannya pemanfaatan ganja untuk pengobatan, Kwankhao juga menunjukkan hasil pemantauan kementerian kesehatan negaranya. Hasilnya angka keracunan ganja menurun, karena warga Thailand tidak lagi memperoleh ganja untuk pengobatan dari pasar gelap yang mutunya tidak memenuhi standar keamanan nasional. Penurunan tersebut mulai terjadi setelah Pemerintah Thailand meresmikan dan mengatur pemanfaatan ganja medis pada Februari 2019.
Di sidang kali ini, pihak Pemerintah RI mengajukan sejumlah pertanyaan. Kedua ahli pun menjawab, pentingnya membangun sistem pemantauan alias monitoring oleh otoritas kesehatan. Pertanyaan, penyakit apa saja yang bisa diobati dengan ganja dijawab, peresepan ganja medis menjadi mekanisme pembatasan karena tidak semua penyakit obatnya ganja. Peresepan obat berbahan baku ganja pun dilakukan apabila pengobatan lainnya telah gagal memperbaiki kondisi kesehatan pasien.
Kedua ahli juga menggarisbawahi pengendalian atau kontrol pemberian izin otoritas kesehatan untuk semua kegiatan mulai dari budi daya dan produksi hingga konsumsi obat-obatan berbasis tanaman ganja baik secara konvensional maupun tradisional.
Sidang selanjutnya dijadwalkan Rabu, 10 November 2021 pukul 11:00 WIB dengan agenda pemeriksaan saksi dari Pemohon.
Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan: Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN. (rls)