Denpasar (Penabali.com) – Asisten Deputi Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. Yulius, M.A., meminta ITB STIKOM Bali dapat mempresentasikan tentang ekonomi digital di depan para kepala negara/pemerintahan yang tergabung dalam Forum G20 dalam pertemuan KTT G20 di Bali November 2022 mendatang.
Permintaan itu disampaikan Yulius ketika menjadi narasumber seminar nasional tentang peningkatan kompetensi dan literasi masyarakat melalui kartu prakerja dan tax deduction di ITB STIKOM Bali, Renon, Denpasar, Kamis (16/12/2021) yang dilakukan secara hibryd.
Menurut Dr. Yulius, Indonesia mendapat kepercayaan sebagai Presidensi G20 selama setahun kedepan. Sehingga Indonesia harus mampu memperlihatkan kelebihan-kelebihannya agar diketahui masyarakat dunia. Karenanya terbuka peluang bagi ITB STIKOM Bali untuk mempresentasikan ekonomi digital.
Menanggapi tantangan Yulius tersebut, Dr. Evi Triandini sebagai moderator acara ini langsung meminta petunjuk kepada Yulius, hal-hal konkrit apa saja yang bisa dibuat ITB STIKOM Bali dalam Forum G20 tersebut.
“Ada tiga topik yang dibahas dalam G20 nanti, yakni ekonomi digital, energi terbarukan, dan emisi gas. Tapi yang saya harapkan STIKOM Bali bisa menyampaikan ide tentang ekonomi digital yang bermanfaat bagi dunia atau paling tidak bagi Indonesia, bisa dalam bentuk seminar internasional dengan narasumber asing atau dapat melakukan pameran. Nanti kami fasilitasi,” terang Yulius, lulusan Magister Ekonomi Internasional Nigata University, Jepang.
Ditemui usai seminar, Dr. Evi Triandini menyatakan akan berkoordinasi dengan pihak rektorat agar kesempatan yang diberikan ini segera disikapi pihak kampus dengan membentuk sebuah tim guna menggodok materi ekonomi digital dimaksud.
“Pada intinya kita di ITB STIKOM Bali sangat siap,” tukasnya.
Seminar nasional tentang peningkatan kompetensi dan literasi masyarakat melalui kartu prakerja dan tax deduction ini dibuka Wakil Rektor II ITB STIKOM Bali, Putri Srinadi, SE., MM.Kom., mewakili Rektor Dr. Dadang Hermawan.
Putri Srinadi menjelaskan, ITB STIKOM Bali berada dibawah Yayasan Widya Dharma Shanti Denpasar, juga ada STT Bandung di Jawa Barat, Politeknik Nasional Denpasar dan Polteknik Ganesha Guru, delapan SMK TI dan beberapa lembaga vokasi.
Dalam paparannya Dr. Yulius menjelaskan, pendidikan vokasi di Indonesia makin menggeliat setelah kunjungan Presiden Jokowi ke Jerman lima tahun lalu. Kepada Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Jokowi minta agar diajarkan pendidikan vokasi. Sebab, 60 persen angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan SMP ke bawah.
Untuk memperbaiki struktur angkatan kerja itulah maka perlu ada lembaga pendidikan vokasi. Sayangnya, sesuai data Biro Pusat Statistik (BPS), lulusan pendidikan vokasi seprti SMK dan Politeknik ternyata menyumbang angka pengangguran terbesar, sekitar 20 – 30 persen. Artinya desain pendidikan vokasi mulai dari tingkat SMK hingga politeknik ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
“Ini agak aneh, lembaga vokasi yang lulusannya harusnya masuk, ternyata menyisakan pengangguran terbesar. Masih menurut data BPS juga, ternyata pendidikan dan pelatihan yang dikeluarkan oleh lembaga vokasi dan sekolah umum itu ternyata mismatch dengan kebutuhan dunia industri, sekitar 50 persen. Jadi apa yang diharapkan dunia vokasi dengan dunia industri ternyata tidak cocok,” kata Yulius.
Bertolak dari kenyataan tersebut, lanjut Yulius, paling lambat akhir bulan ini pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi.
Manfaat dari Perpres tersebut, pertama adalah pemerintah akan mendorong pendidikan vokasi berdasarkan demand oriented. Kedua, pemerintah menempatkan Kamar Dagang dan industri (KADIN) selevel dengan pemerintah sehingga bersama-sama terlibat dalam pembuatan keputusan.
Poin penting dalam Perpres tersebut adalah pemerintah memberikan insentif Super Tax Deduction, yakni pengurangan biaya sampai 200 persen bagi perusahaan yang berinvestasi di bidang vokasi dan peningkatan sumber daya manusia.
Dia memberi contoh. Perusahaan berinvestasi Rp.10 miliar akan membayar pajak 15 persen atau Rp.1,5 M. Tetapi, jika dari Rp.10 miliar tersebut, ada Rp.2 miliar digunakan untuk pendidikan vokasi, maka pajak yang dibayar hanya Rp.10 miliar – Rp.4 miliar (Rp.2 miliar x 200 persen) = Rp 6 miliar x 15 persen sehingga perusahaan hanya membayar pajak Rp.900 juta.
Pada bagian lain, Yulius menjelaskan kartu prakerja adalah salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi SDM.
“Pemerintah memfasilitasi masyarakat untuk mengikuti pelatihan sesuai keinginannya dan kebutuhan pasar. Konsep ini berbeda dengan pelatihan yang dulu dilakukan oleh BLK. Paling tidak dengan memiliki kartu prakerja, seseorang memiliki kemampuan lebih dan lebih berpeluang mendapatkan kerja dibanding yang lain yang tak punya kartu perkerja,” beber Yulius. (rls)