Categories Denpasar Seni

Taman Panasar Duta Kabupaten Bangli Tampil di PKB ke-44

Denpasar (Penabali.com) – Penampilan Taman Panasar Duta Kabupaten Bangli pada Wimbakara (lomba) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 di Gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, mencengangkan. Penonton disodorkan dilema yang tengah viral, terkait beragama Hindu yang efisien dan tidak efisien saat ini.

Semua itu disajikan dengan koreo, pendramaan yang sangat apik, dan menyentuh. Akting dan pendramaannya begitu kuat, sehingga yang terjadi di atas panggung, seperti kenyataan di dalam kehidupan masyarakat.

Taman Panasar Duta Kabupaten Bangli yang didukung Sanggar Rare Angon, Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, memang melakukan persiapkan secara matang. Pendukungnya merupakan anak-anak muda kreatif, maksimal umur 25 tahun. Dalam penampilannya menyajikan enam pupuh, yaitu Pupuh Durma, Pangkur, Sinom, Ginanti, Semarandhana dan Pupuh Ginada. Iringannya gong Semarandhama yang hanya memanfaatkan terompong, sehingga menciptakan suasana baru.

“Walau menggunakan gamelan Semarandhana, tetapi sebagai iringan pokok tetap memakai geguntangan,” kata penggarap Sang Nyoman Gede Adisantika, S.Sn., M.Sn., disela lomba, Rabu (15/6/2022)

Sang Nyoman mengatakan, Taman Penasar ini mengangkat kisah yang cukup menarik. Munculnya para intelek organik yang mengira adat istiadat atau kebudayaan yang sudah terjadi di Bali ini membebani juga dikaitkan dengan “ahimsa”.

“Karena pembahasan Taman Penasar hari ini mengedepankan kata ahimsa itu sebagai definisi menyakiti binatang. Saling menyakiti itu dijadikan landasan kita sebagai Agama Hindu Bali yang dianggap menyakiti binatang terutama saat mulang pakelem di Danau Batur atau saat pecaruan,” ujarnya.

Karena itu, dalam Taman Panasar ini membahas juga hal-hal mana yang tidak membunuh di dunia ini, karena antara menyakiti dan membunuh itu berbeda. Kalau berkata kasar itu juga menyakiti, tetapi kalau membunuh dengan alasan yang jelas, karena di dalam Hindu Bali sudah memiliki aturannya.

“Seperti contoh, ketika seekor ayam dijadikan banten pawoton di Bali, ayam itu didoakan, karena kita percaya dengan punarbawa, reinkarnasi kelahiran kembali. Karena saat ini mati untuk yadnya, didoakan dalam kelahirannya kembali menjadi lebih baik, bahkan menjadi manusia,” jelasnya.

Umat Hindu percaya Tri Premana, yaitu manusia memiliki idep dan pikiran mengajak tumbuhan dan binatang untuk ikut beryadnya. Tumbuhan dan hewan tak memiliki pikiran dan ide untuk beryadnya, karena tak memiliki idep. Kalau dibilang tak membunuh, manusia juga membunuh tumbuh-tumbuhan. Kalau menggores kulit heran atau manusia akan keluar getih (darah), dan kalau menggores tumbu-tumbuhan luka maka keluar getah.

“Itu berarti semua tumbuhan, hewan dan manusia adalah makhluk hidup. Maka itu, bagian Tri Pramana itu yang diulas sekarang sebagai pergunjingan. Ekstrem memang, tetapi penting dipaparkan, sehingga tidak menjadi bom waktu nantinya di Bali,” ulasnya.

Sang Nyoman berharap dari pementasan ini, agar kesenian di Bali tetap ajeg. Para tetua bilang, selama Agama Hindu berjalan maka kesenian pun jalan. Agama dan kesenian menjadi satu, dan buah dari adat itu salah satunya kesenian.

“Tetapi, dalam kesenian itu kita seyogyanya memberikan tontonan dan tuntunan bukan sekedar tontonan secara estetis, tetapi juga secara etik, sehingga penonton itu mendapatkan sesuatu dari pertunjukan kesenian itu. Seperti Taman Penasar ini, semoga penonton membawa pulang hal-hal positif, karena disinipun membicarakan hal-hal positif dan negatif untuk mencari kebenaran,” ungkapnya.

Karena itu, koreo, pendramaan di awal sebagai premis, karena dalam pertunjukan mesti ada isu yang diangkat, sehingga penonton menjadi paham. Pendramaan isu ini sebagai jembatan mencari jawaban dan solusi.

“Ingat pasangkepan itu sebagai salah satu jalan untuik mencari mufakat sebagai pengamalan sila keempat dari Pancasila. Salah satu orang yang beda pendapat, seharusnya disampaikan dalam sangkep bukan di jalan-jalan. Sangkep itu bukan menjadi kebenaran bersama, kesepakatan bersama bukan kebenaran individu,” jelasnya.

Sang Nyoman mengaku, kendala yang dihadapi dalam penggarapan ini memiliki berbagai kendala. Pupuh selama dua tahun belakangan ini semakin ditinggalkan. Sebelum Covid-19 saja ditinggalkan, apalagi setelah Covid-19. Pada saat pandemi itu, semua pikiran manusia bertujuan untuk bertahan hidup.

“Sekarang ini metaki-taki memulai dari awal memberikan remaja dan anak-anak kesempatan untuk menekuni budaya Bali. Saya ucapkan terima kasih kepada Pemprov Bali karena ada aturan main umur dalam lomba ini sekarang anak muda dituntut pelakunya yang maksimal umur 25 tahun, sehingga anak-anak muda terpacu untuk belajar pupuh,” tutupnya. (red)