Categories Denpasar Seni

Tari Sang Hyang Enjo-Enjo dari Tanah Lembongan Mengalun Lewat Sekeha Gong Kebyar Wanita Crekeh Genjer

Denpasar (Penabali.com) – Gema tabuh mengalun saat Sekeha Gong Kebyar Wanita Crekeh Genjer, Desa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, tampil di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Kamis (30/6/2022) malam.

Meski tanpa mebarung dengan Sekeha Gong Kebyar Dewasa dan Sekaa Gong Kebyar Anak-anak, namun greget dan spirit Gong Kebyar Wanita Klungkung ini tak kalah semaraknya.

Gong Kebyar Wanita Klungkung menampilkan salah satu kearifan lokal Desa Adat Lembongan ke dalam tari kreasi yakni Tari Sang Hyang Enjo-enjo.

Sajian diawali dengan Tabuh Telu Kreasi yang berjudul “Kapinggon” membuai lamunan penonton. Kapinggon berarti terlena yang terinspirasi dari sifat egois manusia. Terlena akan alam yang memberikan sumber kehidupan namun seringkali manusia berulah yang berlebihan. Sadar akan laku diri adalah keharusan.

Selanjutnya, tari kreasi berjudul “Sukla Wanita” yang diawali dengan penggambaran sekelumit narasi tanah gersang pada saat Tilem Sasih Karo di tanah Lembongan. Karena hidup harus berjalan, air dalam diri pun kembali dibangkitkan dan ditautkan. Catatan ini menginspirasi terciptanya sebuah karya tari kreasi berjudul Sukla Swanita yang menggambarkan bersatunya purusa predana untuk kelangsungan generasi manusia.

Menurut Bendesa Adat Lembongan, Komang Erawan, tarian ini dikemas sebagai simbol bersatunya unsur benih kehidupan yang dibingkai kemuliaan Sang Hyang Enjo-enjo di Nusa Lembongan. Simbol ini berfungsi sebagai sebuah persembahan penolak bala atas bencana kekeringan yang akan menimpa. Bersatunya sukla swanita yang tersimpul dalam ungkapan ragam gerak indah dan atraktif, adalah simbol kemuliaan untuk yang dimuliakan.

“Jadi di Lembongan itu ada namanya Aci Sang Hyang Gerodog. Dari 23 Sang Hyang Gerodog yang ada, salah satunya diambil Sang Hyang Enjo-enjo untuk ditampilkan dalam tari kreasi. Sang Hyang Enjo-enjo secara visual menyerupai identitas kelamin laki-laki. Yang mana secara umum gambaran tersebut bermakna lambang penciptaan dan kemakmuran. Penata mencoba mengangkat kearifan lokal yang ada di Lembongan ini ke dalam garapan,” katanya.

Penampilan ketiga dari Sekeha Gong Kebyar Wanita Crekeh Genjer yakni tabuh kreasi berjudul “Membah” yang bermakna tumpah ruah terus mengalir seiring Sang Kala mengikuti putaran jagat. Tumpah ruah ngemertaning bumi yang patut diucap huluning amerta yaitu sebagai sumber kehidupan. Tabuh kreasi ini teramu dalam olahan musical orchestra yang silih berganti.

Terakhir, dipersembahkan dramatari berjudul “Danu Reksa” yang menggambarkan ketika manusia sudah mulai buta, dibutakan oleh harta, dan kekayaan, tidak lagi ingat kepada alam semesta yang sudah memberikan segalanya, maka murka Sang Pencipta tak bisa lagi terelakkan. Manusia hanya sebuah butiran debu.

“Dramatari ini mengangkat bagaimana danau yang ada di Bali, keberadaan terciptanya sekaligus kita diingatkan jika suatu saat danau itu kering, saat itu baru sadar atas perilaku kita sekala dan niskala. Ada makna penyadaran di situ”, ujarnya.

Erawan melanjutkan, untuk tampil di PKB pihaknya melibatkan generasi muda dalam gong kebyar wanita ini sebagai upaya regenerasi. Bahkan anak-anak muda ini dididik dari nol.

“Sebenarnya anak-anak ini sudah melewati seleksi gong kebyar di Klungkung tahun 2019. Seharusnya mereka mewakili Klungkung pada tahun 2020. Namun karena pandemi, begitu juga tahun 2021, makanya mereka bisa tampil tahun ini,” sebutnya.

Disinggung mengenai proses kreatif, Erawan mengakui jarak dan waktu latihan memang menjadi kendala utama. Sebab di antara mereka ada yang harus kuliah dan bekerja di Singaraja, Denpasar, dan lainnya. Sehingga mengambil waktu bertemu cukup sulit.

“Kendala kami yang beda pulau memang di sana letak kesulitannya. Anak-anak pulang ke Lembongan balik ke rantauan hari Minggu. Sehingga waktu itu kami manfaatkan betul untuk latihan. Persiapan efektifnya tiga bulan,” tutupnya. (rls)