Jakarta (Penabali.com) – Forum dialog B20-G20 yang diselenggarakan B20 Indonesia Finance & Infrastructure TaskForce, secara hybrid, Kamis (14/7/2022), di Nusa Dua, Bali berjalan lancar dan sukses.
Pertemuan tersebut membahas sejumlah rekomendasi kebijakan terkait keuangan dan infrastruktur yang juga akan dibahas dalam pertemuan para Menkeu dan gubernur bank sentral negara-negara G20 esok harinya (Jumat 15 Juli, red).
Dalam acara dialog B20-G20 tersebut, B20 Indonesia Finance & Infrastructure Task Force Chair, Ridha Wirakusumah, mengemukakan mengenai rekomendasi kebijakan yang dirumuskan satuan tugasnya guna mengatasi kesenjangan infrastruktur dan pendanaan terutama di negara-negara berkembang.
“Kami mendorong empat rekomendasi Gugus Tugas F&I dapat dituangkan dalam aksi-aksi nyata, melalui kolaborasi pelaku usaha dan pemerintah, untuk mendorong pemulihan ekonomi yang berkelanjutan,” tegas Ridha menutup paparan rekomendasi Gugus Tugas F&I.
Adapun empat rekomendasi yang sudah dihasilkan adalah pertama, meningkatkan akses ke sumber pembiayaan yang terjangkau dan sesuai. Kedua, mendorong kolaborasi antar negara untuk mempercepat transisi yang adil menuju net-zero yakni jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer, tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Ketiga, mempercepat pengembangan dan adopsi infrastruktur digital dan cerdas serta yang keempat, memperbaiki regulasi jasa keuangan global untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan stabilitas.
Sementara itu, Chair of B20 Indonesia, Shinta Kamdani, saat membuka dialog B20-G20 ini mengatakan ketimpangan antara negara maju dan berkembang dalam memulihkan diri akibat krisis pandemi tak bisa dilepaskan dari persoalan keuangan dan infrastruktur yang ada di masing-masing negara tersebut.
“Solusi utama yang dirumuskan dalam bentuk empat rekomendasi itu harus kita dorong dalam KTT G20 agar kerja sama pembiayaan pemerintah yang terjangkau dan sesuai antara negara, infrastruktur digital dan cerdas, dan yang terpenting, keseimbangan antara pertumbuhan, produktivitas dan stabilitas bisa segera diwujudkan,” jelasnya.
Legacy Berkesinambungan
Shinta menekankan, warisan dari Presidensi B20-G20 Indonesia ini lebih dari sekadar inisiatif dan akan berkesinambungan. Dalam kesempatan ini, Shinta menyoroti dua program warisan potensial yang mendukung rekomendasi kebijakan Task Force F&I untuk mendorong kolaborasi antar negara mempercepat pemulihan ekonomi melalui perdagangan karbon hingga mencapai net zero. Pertama, Carbon Center of Excellence yang akan membantu dunia bisnis memahami dan menavigasi perdagangan karbon melalui pusat berbagi pengetahuan dan praktiknya dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan bisnis untuk mengembangkan bisnis yang berbasis industri hijau.
“Kami bertujuan untuk meningkatkan jumlah proyek berkelanjutan yang dapat didanai melalui perdagangan karbon. Ini sangat penting karena akan membantu pembiayaan bagi negara-negara berkembang dalam menurunkan emisi karbon,” jelas Shinta.
Kedua, Global Climate Finance Alliance, yakni aliansi multilateral baru yang dirancang untuk mengukur dan mereplikasi inovasi, solusi teknologi dan keuangan termasuk pembiayaan campuran untuk dapat menarik investasi yang sejalan dengan aksi iklim dan mencapai tujuan berkelanjutan sesuai indikator SDGs.
“Hal terpenting, dalam rangka mempererat hubungan antara komunitas bisnis dari negara-negara G20, Presidensi B20 Indonesia memfasilitasi interaksi jaringan dan mengeksplorasi peluang bisnis baru untuk perdagangan dan investasi demi mendukung percepatan pemulihan ekonomi global yang lebih adil dan inklusif,” jelas Shinta.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum KADIN Indonesia, Arsjad Rasjid, menegaskan empat rekomendasi yang diajukan Task Force F&I untuk mewujudkan masa depan yang hijau dan berkelanjutan harus didukung dan diperjuangkan, terutama terkait hambatan dan rintangan yang menghalanginya.
“Kesenjangan terkait infrastruktur antara negara maju dan berkembang sangat terlihat jelas. Negara berkembang menghadapi tantangan yang sudah menjadi persoalan klasik, yakni minimnya infrastruktur di wilayah pedalaman dan pedesaan sehingga membuat pertumbuhan ekonomi menjadi tersendat dan berjalan lambat,” jelas Arsjad.
Minimnya pembiayaan untuk infrastruktur, kata Arsjad, harus segera diatasi. Di Indonesia, perkiraan biaya infrastruktur rentang 2022-2024 adalah sekitar US$ 445 miliar. Sedangkan pemerintah hanya mampu mendanai sekitar 37 persen dari total perkiraan biaya tersebut sehingga terjadi kekurangan biaya sebesar US$ 280 miliar.
“Untuk mengatasi tantangan tersebut perlu ada kolaborasi dan kerja sama yang lebih kuat. Pertama, kolaborasi dan kerja sama komunitas internasional, seperti G20 sangat penting untuk mempercepat proyek infrastruktur yang berkelanjutan,” katanya.
Kolaborasi Pendanaan Berkelanjutan
Arsjad mendorong negara-negara maju memberikan bantuan bagi negara-negara berkembang melalui pendanaan dan investasi proyek infrastruktur serta transfer teknologi yang dapat membawa dampak positif bagi pembangunan berkelanjutan dan pemulihan ekonomi. Kedua, kemitraan publik-swasta, lanjut Arsjad merupakan kunci untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur yang lebih hijau dan cerdas. Sektor swasta sebagai mesin utama untuk pertumbuhan dan pembangunan ekonomi memainkan peran yang semakin penting pada hampir semua perubahan besar global, sosial dan lingkungan.
Ia mengambil contoh kendaraan listrik yang menjadi solusi untuk mengurangi emisi dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil atau inovasi pembiayaan secara digital atau tekfin untuk mendorong inklusivitas keuangan bagi masyarakat. Namun, Arsjad meminta dukungan pemerintah melalui kebijakan atau regulasi yang ramah dengan investasi, salah satunya melalui Omnibus Law.
“Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan ini akan menjadi panduan penting dan praktis bagi kita untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur yang lebih hijau dan cerdas dalam skala besar demi pemulihan ekonomi global yang kolaboratif dan inklusif,” terang Arsjad.
Sejalan dengan pandangan Arsjad dan Shinta Kamdani, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, sebagai perwakilan Kementerian Keuangan mengatakan pembangunan infrastruktur sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Selama 7 tahun ini, Presiden Jokowi sangat serius membangun dan mengejar ketertinggalan infrastruktur, terutama soal akses jalan tol.
Investasi Infrastruktur
Suahasil mengatakan, infrastruktur sangat erat kaitannya dengan anggaran pemerintah. Namun, keterbatasan anggaran pemerintah membuat peran sektor swasta sangat penting dalam rangka membangun infrastruktur. Alhasil, kata Suahasil, kemitraan publik-swasta sangat diharapkan dalam percepatan pembangunan infrastruktur, khususnya yang inklusif dan lebih berkelanjutan.
“Pemerintah mendorong pembiayaan hijau atau berkelanjutan, salah satunya melalui instrumen obligasi hijau. Pemerintah juga membentuk Indonesian Environmental Fund sejak tahun 2018 untuk memastikan keberlanjutan pembiayaan hijau,” kata Suahasil.
Terkait dengan pembiayaan berkelanjutan, Suahasil mengatakan ini juga sejalan dengan agenda pemerintah untuk mencapai target emisi nol bersih di 2060 yang menempatkan transisi energi, transisi ekonomi hijau berjalan dengan baik. Dalam kesempatan ini, Deputy Chair Finance & Infrastructure Task Force/Deputy CEO Indonesia Investment Authority (INA), Arief Budiman, juga melakukan dialog dengan World Bank Managing Director of Development Policy and Partnerships, Mari Elka Pangestu terkait pembiayaan berkelanjutan.
Menurut Mari Elka, dalam jangka panjang, pemulihan ekonomi kedepannya terutama di negara-negara berkembang akan bertumpu pada pemulihan investasi. Investasi yang masuk, kata Mari Elka, harus digunakan untuk membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur berkelanjutan penting untukmitigasi krisis iklim sekaligus mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Dalam forum dialog ini, Menteri ESDM RI, Arifin Tasrif, dan Gubernur BI Perry Warjiyo juga mengapresiasi langkah dan rekomendasi yang dihasilkan Task Force F&I dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi di bidang keuangan dan infrastruktur, terutama soal akses pembiayaan berkelanjutan yang inklusif. Rekomendasi dari Task Force F&I langsung dibahas dalam dua sesi panel yang melibatkan pemangku kebijakan dari anggota forum B20 dan G20 juga melibatkan top eksekutif perusahaan multinasional dan perwakilan pemerintah dari masing-masing negara anggota.
Sesudah pembahasan rekomendasi dalam diskusi panel, B20 Indonesia juga memberikan kesempatan bagi perwakilan dari India yang akan menjadi Presidensi B20-G20 2023, yang diwakili Chief Economic Advisor to the Government of India, V. Anantha Nageswaran, dan dari dunia usaha-industri India akan diwakilkan oleh Member of CII National Council, Chief Executive Officer and Managing Director of L&T, SN Subrahmanyan. (rls)