Denpasar (Penabali.com) – Menyikapi pembahasan RUU KUHP yang saat ini tengah digodok di DPR RI yang dinilai banyak mengakomodir pasalnya berpotensi kuat merusak kebebasan pers, praktisi media Emanuel Dewata Oja meminta seluruh organisasi pers dan organisasi wartawan untuk berjuang bersama menolak pasal-pasal krusial dalam RUU KUHP.
“Selain mengajak teman-teman media dan wartawan, saya juga sebagai praktisi pers mendukung sikap Dewan Pers untuk mendorong DPR RI menghapus beberapa pasal yang membuat wartawan dan media di negeri ini tidak berani lagi mengungkap kebenaran. Begitu banyak pasal krusial,” ujarnya di Denpasar, Sabtu (15/7/2022).
Dikatakan pria yang akrab disapa Edo ini, jika RUU KUHP ini nantinya disahkan menjadi UU, yakinlah akan sangat melemahkan kebebasan pers sebagaimana termaktub dalam UU Pers Nomor 4 Tahun 1999.
Terkait penolakan ini, sebelumnya Dewan Pers, AJI, IJTI, PWI, SMSI dan AMSI telah menolak pasal Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang mengancam kebebasan pers.
“DPR RI itu biasa sekali tidak melibatkan stakeholder dalam pengambilan keputusan termasuk pembahasan RUU yang tidak transparan seperti yang terjadi pada UU Cipta Kerja. Sekarang terjadi pada RUU KUHP. Mungkin kita dari Bali bisa bikin resolusi menolak 12 pasal krusial RUU KUHP atau cara lain. Intinya kita menolak,” ujar Edo.
Dikatakan, selain pembahasan tidak transparan, tidak melibatkan stakeholder, DPR RI juga terlalu terburu-buru jika menetapkan RUU yang penuh kontraversi tersebut jika penetapan dilakukan pada bulan juli ini.
Pemilik Media jurnalbali.com yang juga Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bali ini juga mengatakan bahwa wartawan akan menjadi pribadi pengecut jika RUU ini menjadi UU apabila tidak diubah dengan menghapus beberapa pasal yang sarat dengan kepentingan penguasa dan pemerintah yang berkuasa yang tidak mau dikritik.
Wartawan akan mudah dikriminalisasi dan akan mudah diintimidasi seperti yang terjadi pada beberapa wartawan dalam peliputan kasus baku tembak anggota Polri. Dampak buruknya peran Dewan Pers seperti ditiadakan.
“Setidaknya ada 12 pasal yang dapat membuat penjahat siapapun dia baik dari oknum aparat negara atau pemilik uang bisa mengintimidasi wartawan bahkan mengkriminalisasinya jika pasal ini tidak dihapus, kebebasan pers mati dan kebenaran tidak bisa diungkap,” kata Edo.
Bagaimana mungkin, wartawan dilarang memuat tulisan yang mengkritik pemerintah, yang lucunya lagi jika mau mengkritik pemerintah harus dengan solusi. Bagaimana bisa solusi oleh rakyat jelata dan wartawan sedangkan sumber solusinya ada pada pemegang kebijakan dan kekuasaan.
‘Ini kan omong kosong semua. Misalnya ada emak-emak yang diwawancarai wartawan dan mengkritik pemerintah terkait langkanya atau mahalnya minyak goreng. Lantas menurut UU meminta emak-emak itu berikan solusi. Solusi itu kan ada pada negara atau pemerintah sebagai pengendali harga minyak goreng, bagi emak-emak yang penting bisa menggoreng, sedangkan solusi ketersediaan dan murahnya barang kan ada di pemerintah, ini kan konyol,“ ketus Edo.
Dikatakan, RUU KUHP berpotensi memenjarakan banyak wartawan dan narasumber (Informan) wartawan jika RUU yang sekarang sedang dibahas tidak menghapus 12 pasal krusial tersebut.
“Ini kemunduran luar biasa dan pengkhianatan terhadap reformasi dan demokrasi,” ujarnya.
Edo memaparkan bahwa dirinya sepakat dan mendukung Dewan Pers untuk terus mendesak DPR RI menghapus pasal-pasal yang dapat membuat pers mati. Diantara pasal-pasal tersebut adalah :
1. Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara.
2. Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013022/PUU-IV/2006.
3. Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) harus dihapu karena sifat karet dari kata “penghinaan” dan “hasutan” sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi.
4. Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.
5. Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan.
6. Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan.
7. Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
8. Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan, pencemaran nama baik.
9. Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran. (rls)