Denpasar (Penabali.com) – Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bali, Emanuel Dewata Oja (Edo), sangat mengapresiasi Polda Bali yang menempatkan media sosial sebagai salah satu mitra strategis dalam menjalankan program-program Polda Bali di masa mendatang.
Hal itu tertuang dalam 10 Commander Wish yang dikeluarkan Kapolda Bali Irjen Pol Ida Bagus Kade Putra Narendra menggantikan 10 Commander Wish Kapolda sebelumnya.
Menurut Edo, 10 Commander Wish Polda Bali yang salah satu poinnya menempatkan media sosial sebagai salah satu mitra strategis polisi, merupakan langkah maju yang selayaknya ditempuh Polda Bali dalam memperluas jejaring informasi dan platform media untuk keperluan kedinasan.
Akan tetapi, jelas Edo, karakter media sosial dan media pers dalam menyebarluaskan informasi, jauh berbeda. Perbedaan paling mendasar antara lain mekanisme penyebaran informasi ke publik. Media pers menganut sistem penyaringan atau verifikasi informasi, dengan pola pertanggungjwaban seperti air terjun. Maksudnya, media pers memiliki pertanggungjawaban validitas informasi dilakukan secara bertingkat, mulai dari penanggungjawab, redaktur, hingga wartawan.
Sedangkan media sosial tidak mengenal pertanggungjawaban seperti ini. Media sosial lebih menekankan pertanggungjawaban personal, yaitu yang bertanggungjawab atas validitas informasi yang disebarluaskan adalah pemilik akun saja.
“Media sosial juga tidak memiliki fungsi chek dan recheck. Media sosial tidak memiliki keharusan untuk tunduk pada etika dan aturan-aturan tertentu, sehingga tidak bisa memastikan ketepatan dan akurasi sebuah informasi yang disebarluaskan,” ujar Edo.
Pada titik inilah, kata Edo, akan muncul kerawanan-kerawanan menggunakan media sosial, dimana disrupsi informasi akan sulit terhindarkan. Hoax, fake news atau informasi palsu akan tersebar dengan cepat di masyarakat sehingga menimbulkan instabilitas sosial.
Karena itu, dalam prakteknya, Edo menyarankan Polda Bali untuk sungguh-sungguh melakukan verifikasi sekaligus pembinaan terhadap media sosial yang selama ini banyak menduplikasi model penyebaran informasi media pers, namun tidak serta merta menerapkan perinsip-perinsip kerja pers secara utuh.
Dijelaskan Edo, bahwa media pers seperti media online, media cetak dan elektronik, secara normatif bekerja berdasarkan berbagai regulasi dan etika penyampaian informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya UU Nomor 40/1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Kode Perilaku Wartawan. Sedangkan media sosial tidak menyertakan tanggung jawab moril maupun hukum dalam menyebarluaskan informasi kepada publik.
“Dalam banyak kesempatan, saya selalu menekankan bahwa media sosial itu hutan rimba, yang berpotensi ‘menyesatkan’ orang. Media sosial dan media pers, punya perbedaan cara kerja yang sangat prinsip. Media pers menyajikan informasi kepada publik disertai rasa tanggung jawab yang tinggi seperti melakukan verifikasi informasi sebelum menjadi berita (news), sehingga mayoritas informasi yang menjadi berita pers, dapat dipertanggungjawabkan secara profesional,” ujar Edo.
Ia juga tegaskan, berbagai penelitian yang dilakukan lembaga peneliti kredibel selama ini memperlihatkan bahwa informasi hoax, ujaran kebencian bahkan penistaan terhadap hal-hal tertentu mayoritas terjadi pada media sosial. Karena itu, menjadikan media sosial sebagai salah satu mitra strategis kepolisian harus benar-benar ditempatkan dalam kerangka profesionalitas.
“Kepolisian itu dalam menjalankan tugas penegakan hukum, harus merujuk pada informasi-informasi yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Akan sangat berbahaya jika polisi mendasarkan pekerjaannya hanya pada informasi yang disampaikan media sosial. Sebab media sosial tidak memiliki keharusan untuk melakukan verifikasi informasi sebelum disebarluaskan. Media sosial juga tidak punya keharusan untuk bertanggungjawab terhadap informasi-informasi yang disebarluaskan. Media sosial kerap kali hanya mengutamakan kecepatan atau akselerasi tanpa validasi. Ini sangat berbeda dengan media Pers,” ujarnya.
Meski demikian, Edo tidak menafikan peran media sosial dalam menyampaikan informasi. Hanya saja ia meminta kepolisian khususnya Polda Bali, harus secara berkala melakukan edukasi atau mempertemukan media sosial dengan media pers, sehingga tetap terjadi proses edukasi penyampaian informasi yang bermanfaat bagi kepolisian dan tidak merusak hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang valid. (rls)