Unit Pemberantasan Pungli (UPP) Provinsi Bali secara marathon melaksanakan sosialisasi Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) ke kabupaten/kota seluruh Bali. Kegiatan sosialisasi diawali di Kota Denpasar yang dilaksanakan di Gedung Dharma Negara Alaya, Lumintang, Senin (2/3/2020).
Sosialisasi yang melibatkan bendesa adat, perbekal, pecalang dan OPD Pemkot Denpasar menghadirkan beberapa pembicara dari Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Tinggi Bali, Badan Intelejen Daerah, Irwasda dan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali.
Dalam arahannya, Inspektur Provinsi Bali Wayan Sugiada menyampaikan sosialisasi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pungli yang berdampak pada tindakan hukum. Pembentukan Saber Pungli diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Saber Pungli.
Mengacu pada Perpres tersebut, ada beberapa penekanan Presiden Joko Widodo antara lain jangan korupsi, harus kerja keras, cepat produktif, keras, jangan terjebak pada rutinitas, kerja berorientasi hasil nyata.
“Pungli itu merusak sendi kehidupan berbangsa. Harus ada upaya pencegahan secara terpadu agar ada efek jera. Oleh karena itu, seluruh komponen wajib memahami apa itu pungli. Pungli adalah pengenaan biaya pungutan di tempat yang seharusnya tidak ada biaya dan tidak sesuai ketentuan. Pungli adalah pungutan tanpa dasar hukum. Tiga unsur pungli yaitu pemerasan, suap dan gratifikasi,” papar Sugiada.
Pungli berpotensi terjadi di ranah perijinan, penyaluran hibah bansos, bidang pendidikan dan pengadaan barang/jasa. Terkait dengan dana bantuan untuk desa adat, kata Sugiada, penggunaannya juga harus mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam penggunaan APBD.
Sementara itu, Ketua Pokja Yustisi UPP Saber Pungli Bali Nyoman Sucitrawan, S.H., M.H., menyampaikan pihaknya banyak menerima laporan terkait dudukan (pungutan) di lingkup desa adat terhadap krama tamiu yang diatur dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali dan turunannya Pergub Nomor 34 Tahun 2019 Tentang Tata Kelola Keuangan Desa Adat di Bali.
Meskipun sudah ada payung hukum, ia minta desa adat agar tetap mengedepankan kehati-hatian dalam melakukan dudukan (pungutan) bidang kependudukan.
“Harus ada juklak dan juknis terkait dudukan terhadap krama tamiu dan tamiu, serta fasilitasi Dinas PMA dalam penyusunan pararem,” kata Sucitrawan.
Menunggu juklak, juknis dan proses fasilitasi, ia mengharapkan agar desa adat menerapkan sistem punia yang didasari keiklasan. Tanpa juklak, juknis dan fasilitasi Dinas PMA, ia khawatir pungutan ini memicu persaingan antar desa adat.
Pada bagian lain, desa adat juga diminta cermat dan hati-hati dalam pengelolaan keuangan bantuan dari APBD. (red)