Categories Denpasar Seni

Arja Sanggar Citta Usadhi, Pertahankan Pakem Arja Tempo Dulu

Denpasar (Penabali.com) – Arja Klasik dari Sanggar Citta Usadhi, Banjar Gunung Sari, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, sebagai Duta Kabupaten Badung tampil pada Utsawa (Parade) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44.

Para pemainnya didominasi para remaja mengekpresikan kepiawaiannya menari arja di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, Kamis (16/6/2022).

Gerak tari para penari begitu luwes, penuh ekspresi dengan karakter yang kuat. Pakem-pakem tari pengarjan, masih tampak jelas mulai dari pakem tari, pedum karang ataupun tembang-tembangnya. Dalam menyampaikan pesan, vokalnya juga sangat jelas dan tegas.

Para penari arja yang tampil kali ini memang kebanyakan sudah sangat baik. Hal itu karena kesenian klasik ini sudah dilakoni sejak kecil, hingga remaja saat ini. Walau demikian, tentu setiap mengisi event tumbuhnya generasi-generasi baru yang serius mencintai kesenian arja ini disampaikan pembinanya, Desak Made Suarti Laksmi.

“Saya melatih mereka dramatari arja sesuai pakem tradisi. Saya berusaha mempertahakan pakem tradisi yang sudah diwarisi para penari arja jaman dulu. Sebut saja pepeson Desak Rai, Liku yang menari tetap pada pakem, bukan langsung berimprovisasi. Arja ini tetap mempertahankan pakem, seperti stoksin karakternya, struktur bah bangun satwa tetap dipertahankan,” jelasnya.

Masalah kendala, pasti ada. Desak Suarti menyebut, kendala dialami pada kedisiplinan anak-anak yang merupakan penari pemula. Terkadang tak bisa mengolah dialog, sehingga perlu dibuatkan naskah, seperti membuat naskah drama modern.

Hal tersebut dilakukan seperti saat ia melatih arja di luar negeri. Semuanya dirancang sejak awal, termasuk dialog dalam bentuk naskah. Melalui naskah ini, anak-anak bisa membawakan dialog sesuai dengan tema yang diangkat.

“Dulu, kami tidak merancang dialog. Dalam artian membuat garis-garis besarnya saja, namun setelah dipanggung kendalanya ada pada bahasa,” katanya.

Dramatari di Bali termasuk dramatari arja memakai bahasa Bali sebagai bahasa yang baku. Baik bahasa yang dipakai untuk berdialog dalam bentuk tembang, vokal atau kata-kata juga dialog dalam bentuk wacana. Semuanya memakai sor singih basa.

“Nah, kenyataannya, semua anak-anak itu dalam kesehariannya memakai Bahasa Indonesia, aku… lo.. gue dan sebagainya. Apalagi menggarap karya yang besar, tentu ada kesulitan mengarang dialog sesuai dengan naskah dan keinginan sutradara. Maka itu, dialog sangat spesifik yang memang harus dilakoni oleh para penari arja anak-anak,” bebernya.

Saat ini tidak sedikit penari arja keluar dari pakem, karena menuntut unsur hiburan saja. Setelah keluar dari langse, sudah langsung berimprovisasi. Sebut saja yang memerankan tokoh Desak Rai ataupun Liku, setelah keluar dari langse, langse langsung jatuh dan penari sudah langsung berimprovisasi. Hal itu menurutnya terkesan keluar dari tradisi.

“Makanya, dramatari arja ini, kami tetap pertahankan sesuai dengan pakem arja jaman dulu, seperti toksin karakter, struktur, bah bangun satwa kami pertahankan,” bebernya.

Lalu terkait dengan cerita Citta Usadhi yang mengangkat cerita rakyat sesuai dengan tema PKB ke-44 yaitu “Danu Kerthi Huluning Amreta” yang bermakna Memuliakan Air Sumber Kehidupan. Hal itu ditunjukkan melalui adegan-adegan, seperti cara merawat air biar tetap ening (bersih). Pesan yang disampaikan adalah menjaga air.

“Walau mengangkat pentingnya air, tetapi dalam pertunjukan ini yang terpenting adalah pembelajaran etika,” cetusnya.

Dramatari Arja Dukuh Siladri mengisahkan kegagalan Wayan Buyar yang memaksakan kehendaknya untuk mempersunting Ni Kusumasari sebagai istrinya. Terlebih dendam kesumatnya kepada I Mudita, suami Ni Kusumasari yang mengahajar dirinya sampai babak belur. Wayan Buyar dihajar saat memperkosa Ni Kusumasari. Kegagalan itu bukannya menjadi kapok, malah terus menggelorakan ambisinya untuk terus berjuang dengan cara apapun untuk mendapatkan Ni Kusumasari.

Oleh karena itu, Wayan Buyar menghadap Dayu Datu, seorang sakti mandraguna dalam ilmu hitam yang berdiam di Bukit Mumbul dengan maksud minta tolong agar mensukseskan keinginannya. Dayu Datu merasa terusik oleh tingkah polah Ki Dukuh Siladri yang terkenal dengan ajaran Sadhu Dharma. Melalui kesempatan ini Dayu Datu mendapat jalan melenyapkan keluarganya Ki Dukuh Siladri yang tinggal di Gunung Kawi.

Dayu Datu mengutus sisya sakti kesayangannya Ni Klinyar untuk membunuh I Mudita dan Ki Dukuh Siladri. Melihat ketampanan I Mudita, sisya Ni Klinyar justru jatuh hati, seraya merayunya. Namun, rayuan cintanya mendapat penolakan secara halus yang kemudian berubah menjadi keributan. Pertarungan ilmu kewisesan pun tidak dapat dihindarkan. Ni Klinyar yang bertransformasi menjadi Bawi Srenggi tidak mampu menghadapi ajian ilmu putihnya I Mudita dan Ni Kusumasari.

Wayan Buyar dengan membawa serta jimat ajian pengiwa dari Dayu Datu merasa percaya diri akan usahanya untuk memboyong Ni Kusumasari membawa ke Kedampal, kampung halamannya. Namun, ajian ilmu hitamnya tak mampu memproteksi dirinya manakala dia diserang oleh kawaan binatang buas suruhan I Mudita. Akhirnya kehendak para dewa, keharmonisan keluarga I Mudita didampingi Ni Kusumasari bisa kembali bersatu penuh cinta kasih dibawah bimbingan Dukuh Siladri di Pasraman Gunung Kawi. (red)