Categories Buleleng Hukum

Berkat Perjuangan Gubernur Koster, kembali Warga Desa Sumberklampok Terima 813 Sertifikat Hak Milik Tanah Garapan

Singaraja (Penabali.com) – Gubernur Bali Wayan Koster didampingi Kapolda Bali, Sekda Buleleng, dan Bupati Buleleng, menyerahkan 813 settifikat hak milik (SHM) tanah garapan kepada warga Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Rabu (22/09/2021).

Penyerahan SHM ini merupakan kelanjutan penyerahan 800 sertifikat tanah tempat tinggal yang sudah diserahkan pada 18 Mei 2021 yang lalu.

“Astungkara, pada hari ini, sudah dapat diserahkan sebanyak 813 sertifikat hak milik tanah garapan kepada warga Desa Sumberklampok, semuanya sudah selesai. Apa yang diperoleh oleh warga sudah sepatutnya disyukuri dengan penuh perasaan yang sedalam dalamnya. Saya pun ikut berbahagia karena dengan niat tulus dan lurus telah berhasil mengupayakan sehingga pada akhirnya warga Desa Sumberklampok telah memperoleh sertifikat hak milik secara gratis dibiayai penuh dari APBN. Sepanjang dalam batas yang wajar dan memenuhi peraturan perundang-undangan, sepantasnyalah negara harus berpihak kepada rakyat kecil. Oleh karena itu, saya berharap agar warga memanfaatkan tanah yang dimiliki dengan bijaksana,” jelas Gubernur Koster.

Pada kesempatan itu, mewakili Pemerintah Provinsi Bali dan masyarakat Bali, Gubernur Koster menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang RI dan Kepala Badan Pertanahan Provinsi Bali beserta jajarannya atas kebijakan dan kerja kerasnya dalam menyelesaikan sertifikat tanah warga Desa Sumberklampok.

Acara ini merupakan momen bersejarah dan membahagiakan bagi warga Desa Sumberklampok, karena baru mendapatkan sertifikat kepemilikan hak atas tanah garapan secara gratis yang dibiayai penuh dari APBN, sehingga memiliki kepastian masa depan, setelah mengalami perjuangan yang cukup panjang yaitu selama 61 tahun, sejak tahun 1960.

Menurut informasi, warga Desa Sumberklampok telah menempati tanah ini secara turun temurun sejak tahun 1923 pada saat perabasan hutan untuk menjadi kawasan perkebunan oleh Pemerintah Belanda (eigendom verpoonding). Namun warga belum memiliki tanda bukti kepemilikan yang sah. Tanah yang ditempati dan digarap seluas 612,93 hektar.

Selama menggarap dan menguasai tanah tersebut, warga belum memiliki bukti hak kepemilikan atas tanah yang ditempati sebagai tempat tinggal dan lahan garapan. Kondisi ini terus berlanjut, karena ketika warga mengajukan permohonan hak milik, belum ada kesepakatan antara Pemerintah Provinsi Bali dengan pihak warga. Sehingga warga tidak memiliki kepastian hukum atas tanah yang ditempati dan digarap. Hal ini mengakibatkan nasib warga semakin tidak jelas, mengingat sejak tahun 1993 masa pengelolaan tanah oleh Yayasan Kebaktian Proklamasi telah berakhir.

“Setelah mempelajari dokumen riwayat tanah, dan melakukan pembahasan dengan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali, saya dapat mempertimbangkan permohonan warga untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati dan digarap melalui kebijakan Reforma Agraria,” ujar Gubernur.

Adapun yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan adalah pertama, secara faktual warga telah menempati/menggarap tanah secara turun temurun sejak tahun 1923; kedua, warga telah berjuang untuk memperoleh hak atas tanah yang ditempati/digarap sejak tahun 1960; ketiga, secara faktual telah terbentuk Desa Adat Sumberklampok sejak tahun 1930; keempat, secara faktual telah terbentuk Desa Dinas Desa Sumberklampok sejak tahun 1967, yang kemudian menjadi desa dinas yang definitif pada tahun 2000.

“Kemudian saya mengundang Kepala Desa, Bandesa Adat, dan tokoh masyarakat Desa Sumberklampok (Tim Sembilan) untuk melakukan pertemuan guna membahas komposisi pembagian tanah antara Pemerintah Provinsi Bali dengan pihak warga. Setelah melalui diskusi yang mendalam, saya menyepakati komposisi pembagian yang diinginkan oleh pihak warga yaitu sebesar 30% (154,23 hektar) untuk Pemerintah Provinsi Bali dan sebesar 70% (359,87 hektar) untuk pihak warga (dari total tanah garapan saja seluas 514,10 hektar),” cerita Koster memperjuangkan SHM warga Desa Sumberklampok.

Dengan demikian, pihak warga memperoleh tanah dengan total luas mencapai 458,70 hektar atau sekitar 74,84%. Terdiri dari tempat tinggal dengan luas 65,55 hektar, fasilitas umum dan jalan dengan luas 33,28 hektar, dan tanah garapan dengan luas 359,87 hektar.

“Menurut hemat saya, kebijakan ini sudah merupakan keputusan yang sangat arif dan bijaksana dengan menunjukkan keberpihakan penuh kepada pihak warga Desa Sumberklampok,” katanya.

Gubernur Koster melanjutkan, bahwa dirinya meminta kepada Badan Pertanahan Provinsi Bali untuk melakukan proses pensertifikatan tanah melalui kebijakan Reforma Agraria serta agar menyelesaikan sertifikat dengan cepat.

“Saya melakukan komunikasi langsung dengan Bapak Menteri Agraria dan Tata Ruang RI mengenai proses pensertifikatan ini, beliau sangat menyetujui kebijakan yang saya lakukan karena sesuai dengan program Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” ungkapnya.

Melalui perjuangan yang cukup panjang itu, proses penyelesaian sertifikat tanah warga dituntaskan dengan cepat oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali. Alhasil, untuk tahap kedua ini sudah bisa diselesaikan untuk tanah garapan pihak warga sebanyak 813 sertifikat, yang merupakan kelanjutan penyerahan sebanyak 800 sertifikat tanah tempat tinggal yang sudah diserahkan pada tanggal 18 Mei 2021 yang lalu.

“Semoga kerja yang baik dan dharma bhakti ini akan memberi manfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan warga Desa Sumberkelampok dan kita semua,” harap Koster. (rls)