Jakarta (Penabali.com) – Dalam diskusi yang diadakan Change.org Indonesia, mengemuka pernyataan bahwa transisi energi di Indonesia dianggap masih menghadapi banyak tantangan dari mulai implementasi, regulasi hingga pembiayaan.
Menjelang dilaksanakannya Conference of Parties (COP) 26, sebuah diskusi publik berjudul ‘Apa Persiapan Indonesia untuk COP 26 Glasgow?’ diadakan untuk mencari tahu kesiapan Indonesia menghadapi konferensi ini. Diskusi virtual ini menghadirkan Satya Widya Yuda selaku Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) serta Masyita Crystallin Ph.D., dari Staf Khusus Menteri Keuangan, dan Sherpa for the Coalition of Finance Ministers for Climate Action.
Change.org Indonesia melaksanakan diskusi ini dikarenakan topik lingkungan termasuk krisis iklim, merupakan salah satu topik yang paling sering dibahas dalam bentuk petisi di platform Change.org Indonesia. Di tahun 2020 saja, ada hampir satu juta tanda tangan yang ditujukan dalam berbagai petisi terkait dengan topik lingkungan.
COP 26 akan dilaksanakan pada 31 Oktober sampai 12 November 2021 di Glasgow, Inggris. Pentingnya konferensi ini membuat pemimpin dunia hadir secara langsung untuk menyampaikan komitmen iklim negaranya, termasuk Presiden Indonesia, Joko Widodo.
Selain itu, diskusi ini pun membahas mengenai target pengurangan emisi karbon Indonesia. Melalui mekanisme Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan komitmen setiap negara terhadap Persetujuan Paris, Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi menjadi 41 persen pada 2030.
Satya menyatakan, COP 26 akan berfokus pada pengendalian emisi melalui pengaturan penggunaan lahan dan juga kehutanan. Ia menyampaikan bahwa poin ini juga telah menjadi salah satu fokus dari Presiden Jokowi, selain transisi energi dan mendorong investasi hijau.
Untuk mencapai target-target yang telah ditentukan melalui NDC, Masyita menyampaikan bahwa pemerintah telah mempersiapkan anggaran dan juga insentif. Menurutnya, biaya yang dikeluarkan untuk pengurangan emisi dari sektor kehutanan lebih murah dibandingkan dengan transisi energi menuju energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, terkait dengan transisi energi menuju yang terbarukan, pemerintah menginginkan ada sebuah transisi energi yang adil dan juga terjangkau.
“Pemerintah telah memberikan dukungan melalui APBN untuk mengendalikan perubahan iklim melalui perpajakan, menyiapkan anggaran, transfer ke daerah serta memberikan pembiayaan inovatif untuk pembangunan yang berkelanjutan. Selain insentif, pemerintah juga telah menyiapkan instrumen lain, seperti carbon pricing,” katanya.
Indonesia juga telah menyempurnakan langkah untuk mencapai target penurunan emisi karbon ini melalui Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience atau LTS-LCCR 2050.
Dalam LTS-LCCR 2050 ini, Indonesia berencana untuk menaikkan target pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mengurangi deforestasi, kemudian menargetkan tercapai 540 juta ton CO2 pada 2050, sehingga mencapai target nol emisi di tahun 2060.
Satya menyatakan bahwa dalam COP 26 nanti, Indonesia bisa menyampaikan mengenai langkah-langkah pengurangan emisi di sektor energi yang menurutnya telah berkurang secara signifikan. Walaupun begitu, ia mengakui bahwa transisi menggantikan energi fosil dengan energi baru terbarukan tidak dapat dilakukan dengan terburu-buru dan cepat namun secara gradual atau bertahap.
“Kendala utama EBT belum terpecahkan secara teknologi. Kalau semua fosil langsung diganti dengan EBT hari ini, it doesn’t works. Kita harus pikirkan sistem transisi yang reasonable. Kita gak bisa langsung copy-paste gitu aja,” tuturnya. (rls)