Regulasi yang mengatur pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai oleh pemerintah, dianggap tidak menjadi solusi untuk mengatasi sampah plastik yang telah mencemari lingkungan.
“Regulasi itu hanya mengendalikan saja bukan sebagai sebuah solusi. Pelarangan menggunakan kantong plastik bukan solusi kalau kita ke pasar kita masih temukan kantong plastik,” ujar Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia, Hengki Wibawa, disela konferensi World Packaging Organisation, yang berlangsung di Inaya Putri Bali Kawasan ITDC Nusa Dua, Badung, Bali, 4-8 November 2019.
Menurut Hengki, keluarnya regulasi dari pemerintah terhadap pelarangan penggunaan kantong plastik adalah sebuah kepanikan semata setelah sampah plastik kini menjadi ancaman serius terhadap kesehatan lingkungan dan manusia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Penanganan Sampah telah mengisyaratkan bahwa setelah tahun 2008 semua Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah harus diganti dengan Tempat Pembuangan Sementara Terpilah (TPST).
“Nah itu yang harus dilakukan tapi sampai sekarang tak dilakukan yang pada akhirnya semua dilarang termasuk penggunaan kantong plastik,” kata Hengki, Rabu (6/11/2019).
Peraturan pemerintah terhadap pelarangan penggunaan kantong plastik kata Hengki, kurang tepat karena itu bukan solusi yang bisa mengurangi sampah plastik. Solusinya, harus segera dibuatkan TPST, dimana sampah-sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga maupun industri kemudian harus dipilah dan pengangkutannya juga harus dipilah.

“Jangan sekarang ada kampanye sampah harus dipilah dari rumah tapi diangkatnya dalam satu truk juga itu khan sama aja bohong namanya, apa gunanya itu,” pungkasnya.
Di negara lain, Jepang misalnya, plastik masih digunakan karena murah, tapi mereka memilahnya untuk kemudian didaur ulang. Hengki mengutarakan, dengan dilaksanakannya konferensi WPO di Bali dimana 26 negara dari 56 negara anggota berkumpul membahas bagaimana teknologi packaging atau kemasan berbagai produk harus yang ramah lingkungan bagi kesehatan.
“Hari ini kita membahas plastik yang mencemari lingkungan dan itu tantangan bagi industri pengemasan. Sekarang tuntutan makin kompleks namun industri pengemasan tak tinggal diam. Teknologi yang terus berkembang menuntut industri pengemasan di seluruh dunia termasuk Indonesia akan sama-sama belajar bagaimana menciptakan kemasan produk yang tak hanya aman bagi lingkungan namun juga bagi kesehatan,” jelas Hengki.
Hengki menyebut, penanganan sampah tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Harus ada kolaborasi dan sinergi yang kuat dan komitmen yang nyata antara pemerintah, elemen masyarakat, industri, dan asosiasi agar pengelolaan sampah khususnya di Indonesia bisa dilakukan secara tepat dengan teknologi yang tepat pula.
“Tapi sekali lagi, mindset masyarakat juga sangat penting. Edukasi bagaimana cara mengolah sampah ini agar tidak mengganggu kesehatan lingkungan juga kesehatan makhluk hidup,” ucap Hengki.

Sementara itu pertemuan WPO di Bali tak hanya berfokus membahas sampah plastik yang juga berimbas pada industri pengemasan. Tetapi juga ada isu-isu hangat bagi komunitas pengemasan global. Seperti mengenai program dan pendidikan dan pelatihan pengemasan, pengemasan dalam sirkular ekonomi yang ramah lingkungan, keamanan pangan dan pengemasan dan branding di industri 4.0.
Presiden WPO, Pieree Pienaar, disela pertemuan menjelaskan pengemasan bisa memberdayakan keberlanjutan dan keamanan pangan serta menjadi langkah positif bagi umat manusia di era sirkular ekonomi. Sirkular ekonomi adalah sistem ekonomi yang ramah lingkungan. Tujuannya mempertahankan nilai sebuah produk agar dapat digunakan berulang-ulang tanpa menghasilkan sampah melalui cara mendaur ulang (recycling) dan menggunakan kembali (reuse).
“Mendidik dan memberdayakan generasi berikutnya harus ada dalam radar industri pengemasan dalam mendukung penguatan sirkular ekonomi,” kata Pieree. (red)