Diskusi Bersama Peradah Bangli, Eriadi Ariana: “Unsur literasi di Bangli hampir tak tersentuh”

Dewan Pimpinan Kabupaten Perhimpunan Pemuda Hindu (DPK Peradah) Indonesia Kabupaten Bangli kembali menggelar Diskusi Bersama Peradah Bangli atau Dipa Bangli. Diskusi seri ke-7 digelar Rabu (28/10/2020) sekaligus memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-92. Tema diskusi mengangkat topik “Bangli Masa Transisi”.

Pemilihan tema ini merespon kondisi kekinian yang terkait dengan tata kehidupan yang berubah akibat pandemi covid-19 serta menyongsong pesta demokrasi Pemilihan Bupati-Wakil Bupati Bangli Tahun 2020.

Diskusi menghadirkan tiga narasumber yakni Made Kenak Dwi Adnyana (Ketua Sanggar Jarakbank Bangli), I Ketut Suantika (Pegiat Pariwisata), dan IK Eriadi Ariana a.k.a Jero Penyarikan Duuran Batur (Ketua DPK Peradah Indonesia Bangli).

Kenak Dwi Adnyana yang merupakan seorang pelukis berlatarbelakang agraris menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Bangli ke depan perlu memperhatikan kehidupan kesenian di Kabupaten Bangli. Menurut seniman asal Desa Belantih, Kintamani ini, saat ini tidak ada ruang kesenian di Bangli. Pun, dulu ada Sasana Budaya, namun kondisinya sekarang sudah sangat tak layak.

“Dunia kesenian di Bangli kalau untuk kerjasama dengan pemerintah masih kurang. Di Bangli belum ada suatu ruang khusus untuk mewadahi dunia kesenian, yang paling tidak semestinya ada satu ruang khusus yang bisa dimanfaatkan oleh pegiat seni untuk menampilkan karya atau kegiatan lainnya,” katanya.

Ruang berkesenian, lanjutnya, yang dimaksud salah satunya adalah Taman Budaya. Menurutnya, di setiap daerah di Bali memiliki Taman Budaya. Pun, di Bangli memang ada, akan tetapi dari sisi pengelolaan dan fasiilitas sangat kurang.

“Sebagai seorang berlatarbelakang agraris, kami juga berharap produk pasca panen petani dapat diperhatikan. Harus ada sinergi antara pemerintah pelaku dunia pertanian di permasalahan penjualan atau usaha yang bisa dikembangkan setelah panen,” ujarnya.

Sementara itu, pegiat pariwisata, I Ketut Suantika, mengingatkan bahwa perkembangan suatu daerah tak pernah terlepas dari kebijakan politik. Pun bagi pariwisata Bangli, tata kelola pariwisata perlu ditingkatkan dari berbagai unsur.

“Kebijakan eksekutif di bidang pariwisata belum maksimal. Pemerintah ke depan secara sadar harus melakukan manajemen pariwisata yang lebih. Contohnya Kintamani, sebenarnya adalah emas, namun selama ini stagnan,” ungkapnya.

Dalam hal tata kelola manajemen dinilai ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan, yakni data, dana, dan daya.

“Perlu pemetaan data yang benar, dukungan dana dan upaya. Misalnya, saya melihat potensi pariwisata pasar. Tamu-tamu saya sering bertanya dimana pasar di sekitar sini, mereka mau tahu, apalagi katanya di Kintamani dulu ada pasar yang cukup sentral di Bali,” jelasnya.

Senada dengan hal tersebut, IK Eriadi Ariana, mengatakan bahwa selama ini unsur literasi di Bangli hampir tak tersentuh. Tak banyak yang diwacanakan, padahal potensi Bangli baik dari sisi alam, budaya, maupun ekonomi kreatif sangat besar.

“Selama ini berdiskusi tampaknya seakan dipandang kurang penting, padahal melalui diskusi bisa lahir berbagai langkah menstimulus ide-ide baru,” ucapnya.

Lebih jauh ia menyebut jika potensi pemuda Bangli sejatinya sangat besar. Hanya saja, tak terjadi kolaborasi. “Soal literasi, Bangli harus belajar dari beratus tahun lalu, dimana pada masa Bali Kuno salah satu kawasannya dibebaskan pajak oleh raja untuk difungsikan sebagai pasraman. Ini bisa ditiru, sehingga ada dialektika antar pemuda dan potensi yang ada, berkolaborasi, dan akhirnya melahirkan produk,” ulasnya.

Masih dalam ruang lingkup pemuda, pemuda Batur ini menambahkan, bahwa saat ini pemuda memiliki peran dan daya yang sangat besar dalam mengembangkan dan berkontribusi pada daerah. Dalam hal pariwisata, pengembangan pariwisata berbasis digital mulai banyak dipelopori oleh pemuda kreatif.

“Misalnya selama pandemi covid-19 ini saya melihat pariwisata Kintamani kembali terangkat oleh adanya coffee shop dan wisata camping. Kebanyakan dipromosikan melalui media sosial. Dan, semestinya ini bisa ditiru oleh pemerintah, misalnya dengan penerapan PHR secara digital,” tandasnya. (red)