Jakarta (Penabali.com) – Tragedi banjir bandang yang menghantam Denpasar pada 10 September 2025, menelan 18 korban jiwa dan melumpuhkan fasilitas publik seperti Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, menjadi peringatan keras bagi Pulau Dewata. Menanggapi realitas bencana ekologis tersebut, Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD Bali bersama puluhan jurnalis baik cetak maupun online yang bertugas di lingkungan dewan melakukan kunjungan kerja ke Dinas Sumber Daya Air (DSDA) Provinsi DKI Jakarta dalam agenda Press Tour pada Kamis (9/10/2025).
Rombongan Bali, yang dipimpin oleh Sekretaris Dewan DPRD Provinsi Bali, I Ketut Nayaka, diterima langsung oleh Kepala Pusat Data dan Informasi Dinas SDA DKI Jakarta, Nugraha Ariadi atau yang akrab disapa Medi.
I Ketut Nayaka menegaskan bahwa kunjungan ini didorong oleh keprihatinan mendalam atas bencana banjir yang skalanya belum pernah terjadi sebelumnya di Bali. “Ini mengagetkan semua pihak. Karena itu kami ingin belajar bagaimana Jakarta mengelola banjir agar Bali bisa lebih siap,” ujar Nayaka, menekankan pentingnya kesiapan mitigasi.
Menanggapi hal tersebut, Medi dari DSDA DKI Jakarta menyampaikan sebuah realitas pahit namun esensial: banjir tidak mungkin dihapuskan sepenuhnya. “Tidak ada gubernur yang bisa menjamin Jakarta bebas banjir. Tapi yang terpenting adalah mitigasi—menyelamatkan nyawa dan mengurangi dampak sosialnya,” jelasnya.
Jakarta sendiri menghadapi ancaman permanen dari tiga jenis banjir: banjir kiriman (dari 13 sungai hulu), banjir lokal(curah hujan tinggi), dan banjir rob (pasang laut).
Dalam paparannya, DSDA membeberkan data krusial yang menunjukkan bahwa Jakarta masih berjuang di tengah defisit kapasitas infrastruktur pengendalian banjir yang besar.
Total debit air yang masuk ke Jakarta mencapai 3.389 meter kubik per detik (m³/det). Namun, kapasitas desain ideal penanganan banjir hanya 2.357 m³/det, sementara kapasitas infrastruktur eksisting saat ini hanya 1.141 m³/det, yang berarti Jakarta masih memiliki kekurangan daya tampung sebesar 1.032 m³/det.
DSDA juga menyoroti empat tantangan utama Jakarta, yaitu: kiriman air 13 sungai, penurunan tanah (land subsidence), banjir rob (karena sebagian daratan utara berada di bawah permukaan laut), serta pesatnya perubahan tata guna lahan. Bahkan, kapasitas drainase Jakarta hanya mampu menahan curah hujan rata-rata harian 100 mm, jauh di bawah rekor hujan lokal yang pernah mencapai 377 mm pada 2020.
Untuk menanggulangi defisit tersebut, Pemprov DKI Jakarta menjalankan strategi ganda melalui Infrastruktur Fisik(Normalisasi Kali, Polder) dan Pengendalian Limpasan Air (Run-off Control) atau yang dikenal sebagai Nature-Based Solution (NBS).
Proyek-proyek utama yang menjadi sorotan dan telah diperbarui statusnya hingga awal Oktober 2025 meliputi:
1. Pengembangan Polder: Berdasarkan Roadmap Infrastruktur 2024, Jakarta memiliki 70 polder, dengan 20 polderdikategorikan sebagai Prioritas A yang harus segera diselesaikan karena tingkat kerawanan dan riwayat banjir.
2. Ruang Limpah Sungai (RLS): Pembangunan RLS seperti RLS Brigif dan RLS Pondok Ranggon terus digenjot untuk menampung air sungai sebelum masuk ke inti kota.
3. Pengendalian Rob: Progres pembangunan Tanggul NCICD Fase A (kewenangan Pemprov DKI) telah mencapai 10.730 km terbangun dari total klaster 28.279 km (per September 2025).
Selain pembangunan, DSDA memastikan kesiapan operasional teknis dengan memiliki armada besar: 557 unit pompa stasioner dan 627 pompa mobile. Hingga 3 Oktober 2025, total volume pengerukan sedimen di Kali/Sungai, Waduk/Situ/Embung, dan Saluran Tersier telah mencapai lebih dari 600 ribu meter kubik. Seluruh operasional didukung oleh 3.943 Personil PBPP (Petugas Pengendali Banjir).
Koordinator Press Tour, Dwikora Putra, ” Bali belum memiliki sistem dan peralatan memadai.
“Kita dorong agar Gubernur Bali membentuk Dinas Sumber Daya Air yang khusus. Setelah banjir 10 September, baru terasa pentingnya lembaga yang fokus pada urusan air,” tegas Dwikora.
Menutup pertemuan, I Ketut Nayaka menekankan bahwa langkah awal yang bisa ditiru Bali adalah mengembalikan fungsi bantaran sungai dan segera melakukan pengerukan sungai.
“Bali tak boleh hanya bereaksi setelah bencana datang. Ini waktunya menyiapkan strategi agar banjir bandang seperti 10 September tak terulang lagi. Kita harus punya master plan pencegahan dan penanganan banjir,” pungkas Nayaka.(ika)