Categories Denpasar Politik

DPRD Bali Setujui Ranperda RTRWP Bali 2023-2043

Denpasar (Penabali.com) – Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam terhadap dokumen Raperda RTRWP Bali tahun 2023-2043, beberapa kali rapat kerja dan rapat gabungan, mendengar aspirasi masyarakat, mendengar pandangan umum fraksi-fraksi, mendengar jawaban gubernur, konsultasi ke Kementerian ATR/BPN RI, serta mengikuti Pra Linsek, Pembahasan Linsek sampai dengan terbitnya persetujuan substansi, juga telah membuat berita acara kesepakatan dengan kabupaten/kota seluruh Bali, DPRD Bali berpendapat menyetujui Ranperda Provinsi Bali tentang RTRWP tahun 2023-2043.

“Kami berpendapat bahwa dapat menyetujui Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang RTRWP Bali tahun 2023-2043 untuk dilanjutkan dengan tahap evaluasi di Kemendagri RI sesuai dengan tahapan penyusunan RTRWP, ditandai dengan penandatanganan persetujuan bersama antara Gubernur Bali dan DPRD Provinsi Bali,” ujar Koordinator Pembahas Raperda RTRWP Bali tahun 2023-2043, A.A. Ngurah Adhi Ardhana, dalam laporan dewan terhadap pembahasan Ranperda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali tahun 2023-2043 pada Sidang Paripurna ke-3 DPRD Provinsi Bali, Senin (30/1/2023), di Gedung DPRD Bali, Renon, Denpasar.

Namun sebelum menyatakan menyetujui Ranperda tersebut, Adhi Ardhana menyampaikan beberapa saran/rekomendasi. Ia mengatakan, mengingat begitu penting dan strategisnya pegaturan tata ruang dalam dokumen RTRW ini untuk kelangsungan pembangunan di Provinsi Bali, termasuk banyak peraturan perundang-undangan yang juga telah berubah.

Rekomendasi tersebut antara lain sebagai tindak lanjut dari ditetapkannya RTRWP Bali tahun 2023-2043 ini, maka secara bersamaan Pemerintah Kabupaten/Kota juga akan menetapkan RTRW Kabupaten/Kota masing-masing.

“Jadi kami merekomendasikan dan sangat mengharapkan agar terus terjadi koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi, dengan taat azas antara RTRWP Bali dan RTRW Kabupaten/Kota masing-masing untuk menghindari permasalahan baik dalam perencanaan, pemanfaatan maupun dalam pengendalian pemanfaatan ruang, sebagaimana yang telah disepakati dan dituangkan dalam berita acara masing-masing,” jelas Anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.

Terlebih lagi kata Adhi Ardhana, berdasarkan PP RI No.21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Pasal 55 Ayat (5) menyebutkan bahwa RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah kabupaten/kota sesuai wilayah administrasinya. Yang artinya RDTR ditetapkan dengan Perbup atau Perwali saja.

“Padahal kita pahami bersama penormaan dalam RDTR-lah yang menjadi cikal bakal dasar hukum, segala bentuk proses perizinan berusaha dalam bentuk rekomendasi KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang),” sebutnya.

Keberadaan RTRW dan RDTR dalam pelaksanaan proses Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dalam sistem One Line Single Submission (OSS) sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUCK (Perppu CK), sangatlah penting dan strategis, karena dengan ketiadaan lagi model IMB dengan “izin gangguan/HO (hidden ordonantie)”, izin penyanding dll, sering menimbulkan masalah dalam praktiknya di lapangan.

Koordinator Pembahas Raperda RTRWP Bali tahun 2023-2043, A.A. Ngurah Adhi Ardhana, dalam laporan dewan terhadap pembahasan Ranperda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali tahun 2023-2043. (foto: ist.)

“Karena itu kami merekomendasikan agar pelaksanaan Ranperda ini dilakukan dengan sebaik-baiknya, sebab rujukan pada RTRW atau RDTR, adalah menyangkut : 1) rekomendasi KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang); 2) persetujuan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) dan; 3) PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) yang mensyaratkan berbagai SLF (Serifikat Layak Fungsi),” terang politisi asal Puri Gerenceng, Denpasar ini.

Adhi Ardhana mengungkapkan kasus-kasusnya sudah mulai muncul dan masyarakat mengadukannya ke DPRD Provinsi Bali (sebagai contoh ke Komisi 1 dan Komisi 3). Jadi soal penegakan hukum yang dinormakan dalam bagian pengendalian pemanfaatan ruang, seperti pengawasan, pembinaan, insentif-disinsentif, sanksi dan lain-lainnya dapat dilakukan dengan tegas dan jelas di berbagai tingkat.

Dokumen RTRW pada prinsipnya hanya mengatur arahan, kebijakan, indikasi dan lain-lain, namun peraturan di bawahnya atau yang merupakan turunan dari padanya tentu dapat mengatur hal yang lebih tegas dan jelas sebagaimana kebutuhan nyata masyarakat di lapangan.

“Untuk itu kami merekomendasikan kepada pemerintah kabupaten/kota agar kebutuhan masyarakat tersebut mendapat perhatian semestinya, sebagaimana aspirasi yang disampaikan DPD Aprindo Provinsi Bali dengan surat No. 080-REK/ DPDBali-5/I/2023 tertanggal 20 Januari 2023, yang ditujukan kepada Ketua Pansus RTRWP DPRD Provinsi Bali,” ucapnya.

Adhi Ardna lanjut membeberkan bahwa dengan merujuk Permendag No.23 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengembangan, Penataan dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan sebagaimana telah diubah dengan Permendag No.18 Tahun 2022, dikutip Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan lokasi pendirian pusat perbelanjaan dan toko swalayan mengacu pada RTRW Kabupaten/Kota, atau RDTR Kabupaten/Kota. Selanjutnya Pasal 3 menyebutkan penetapan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mempertimbangkan sosial ekonomi masyarakat setempat serta keberadaan pasar rakyat dan UMKM yang ada di zona atau area atau wilayah setempat; dan jarak antara pusat perbelanjaan dan toko swalayan dengan pasar rakyat atau toko eceran tradisional. Serta pasal lain yang menyebutkan kepemilikan paling banyak 150 gerai, dan jika lebih maka wajib mewaralabakan gerainya atau usaha patungan (joint venture).

Intinya direkomendasikan :

1) Agar disusun pengaturan dalam tata ruang untuk toko ritel dengan mempertimbangkan perlindungan berusaha kepada UKM ritel lokal, karena kemampuannya berbeda dengan ritel nasional;

2) Agar pemerintah daerah melakukan evaluasi dan penindakan tegas terhadap status kepemilikan dan pengelolaan toko swalayan yang berdiri dan beroperasi setelah Permendag No.23 Tahun 2021 itu diterbitkan. (red)