Categories Hukum

Gedung MDA Bali Terbuka Untuk Masyarakat, Dewa Rai: “Daripada sembunyi-sembunyi pasang spanduk liar”

Denpasar (Penabali.com) – Terbalik dengan apa yang ditulis di spanduk liar oleh oknum terkait fungsi MDA, Patajuh Bandesa Agung Bidang Hukum dan Wicara Adat, Dr. Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, S.H., M.H., menyatakan Wicara Desa Adat yang sudah masuk ke MDA Provinsi Bali, 100% sudah ditangani, 6 wicara sudah tuntas hingga putusan, 2 wicara sedang berproses merancang putusan dan ada 1 wicara yang baru masuk dan sudah dimulai untuk melakukan proses mediasi terlebih dahulu.

Hal itu disampaikannya Jumat (22/7/2022), di Denpasar. Menurut Dewa Rai, perlu diakui, pasca terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, Majelis Desa Adat (MDA) benar-benar bekerja sangat keras, dalam memastikan percepatan pemahaman di kalangan Bandesa dan Prajuru Desa Adat, yang diharapkan dapat mempercepat akselerasi untuk memahami kedudukan desa adat sekaligus pengakuan dan perlindungan negara terhadap desa adat di Bali.

Dijelaskan Doktor Hukum yang malang melintang menangani berbagai permasalahan dan wicara adat tersebut, terkadang banyak oknum yang tidak paham tentang permasalahan adat yang dimaksud. Menurutnya, permasalahan adat tidak semua otomatis bisa ditangani Majelis Desa Adat. Beberapa permasalahan adat, yang terjadi antar individu banyak yang sudah selesai dan tuntas ditangani di desa adat melalui Kerta Desa.

Beberapa permasalahan yang tidak bisa diselesaikan di desa adat, maka diajukan ke Majelis Desa Adat Kecamatan setempat untuk dilakukan mediasi, selanjutnya jika setelah beberapa proses mediasi tidak menemui kata sepakat, maka naik kembali ke mediasi di Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten atau Kota.

Jika semua proses mediasi ini tidak menemui jalan keluar, maka selanjutnya permasalahan adat diajukan sebagai Wicara Adat yang akan diproses di MDA Provinsi dan keputusannya akan menjadi sebuah keputusan yang final dan mengikat.

Dalam beberapa kasus, Dewa Rai menjelaskan permasalahan adat banyak yang malah diajukan ke pengadilan negara yang ditangani dengan hukum negara. Hal ini menurutnya tidak tepat dan tentu saja MDA tidak bisa melakukan intervensi terhadap sistem peradilan negara. Namun, hal yang menggembirakan adalah sudah ada beberapa putusan pengadilan yang menyatakan bahwa, pengadilan tidak berhak untuk menangani kasus adat.

“Jadi poin pentingnya disana. Proses penanganan permasalahan adat, sama sekali berbeda dengan penanganan permasalahan pelanggaran hukum negara. Prosesnya cenderung cukup panjang karena yang diharapkan sebagai hasil bukan menang atau kalah. Ada dorongan untuk mengutamakan kebijaksanaan (wisdom), paro sparo, gilik saguluk dalam menuntaskannya,” ujarnya.

Dewa Rai menambahkan, selama ini hampir setiap hari Gedung Lila Graha MDA Provinsi Bali, ramai dikunjungi krama adat, krama tamiu dan tamiu yang ingin berkomunikasi atau kepentingan lain untuk desa adat dan Drestha Bali.

“Jika ada hal-hal yang dirasa krusial dan ingin mendapatkan penjelasan yang proporsional, silahkah hadir langsung di Gedung MDA Bali, karena ini adalah gedung kita bersama, saya kira lebih mudah untuk berkunjung ke Gedung MDA daripada sembunyi-sembunyi pasang spanduk liar,” pungkasnya. (rls)