Denpasar (Penabali.com) – Utsawa (Parade) Gong Kebyar hingga saat ini masih menjadi salah satu tontonan primadona di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022. Terbukti, dari tribun Panggung Terbuka Ardha Candra yang tak pernah sepi dari penonton yang berebut tempat duduk. Mau wakil dari kabupaten manapun yang tampil, penonton selalu berjubel ingin menonton dari dekat.
Seperti penampilan Duta Kesenian Kabupaten Tabanan yang mebarung antara Gong Kebyar Dewasa dan Gong Kebyar Anak-Anak di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (2/7/2022).
Gong Kebyar Dewasa Duta Tabanan diwakili Sanggar Seni Gurnita Kusuma, Desa Tangguntiti, Kecamatan Selemadeg Timur. Sedangkan Gong Kebyar Anak-anak diwakili Sanggar Haridwipa Gamelan Grup, Desa Dauh Peken, Kecamatan Tabanan.
Penampilan mereka tak hentinya mendapat tepuk tangan penonton. Bahkan penampilan Duta Tabanan juga mengundang tawa penonton lantaran pelawak Sengap hadir di awal penampilan, guyon sambil mengecek kesiapan dari kedua gong kebyar ini.
Gong Kebyar Dewasa Sanggar Seni Gurnita Kusuma menampilkan beberapa garapan malam itu. Seperti Tabuh Pat Lelambatan Kreasi “Anglelana Lamuk” yang menggambarkan Tukad Yeh Lamuk menopang kehidupan agraris masyarakat di tujuh banjar di Desa Tangguntiti. Fenomena tersebut menjadi landasan ide dalam pengorganisasian elemen musikal berdasarkan intuisi komponis, tanpa mengesampingkan gegulak lelambatan yang telah mengakar pada ansambel Gong Kebyar.
Kemudian tari kreasi berjudul “Campuh” yang menggambarkan tempat pertemuan muara sungai atau pertemuan air tawar dengan air laut. Kata campuhan juga memiliki arti campuran, perpaduan, persatuan unsur-unsur yang berbeda.
“Penampilan kami kali ini mengangkat kearifan lokal yang ada di Desa Tangguntiti, dimana ada campuhan yakni pertemuan beberapa sungai yang dijadikan sumber inspirasi dalam membuat karya. Air sebagai huluning amreta, sumber kehidupan. Seperti itu pula, campuhan ini yang banyak berfungsi untuk pengairan sawah yang bermuara pada kelangsungan kehidupan pertanian, sumber kehidupan kita,” ungkap I Ketut Arya Suartika, Ketua Panitia Gong Kebyar Dewasa Sanggar Seni Gurnita Kusuma.
Garapan selanjutnya ditampilan karya tari bebarisan “Balaning Amreta” yang bermakna pemaknaan ritual sebagai dasar wujud syukur kesucian Tuhan dengan berlandaskan air sebagai saksi pengabdian dan cinta kasih. Karya ini terinspirasi dari tradisi mendak toya sebagai wujud syukur masyarakat pertanian atau subak atas karunia yang dilimpahkan Tuhan.
Penata merepresentasikankan ide tersebut ke dalam wujud karya tari bebarisan yang memiliki karakter gagah, sigap dan cekatan dengan judul “Bala Amreta”.
Arya Suartika mengungkapkan, untuk proses kreatif penggarapan karya sudah dimulai sejak akhir Januari 2022. Sanggar Seni Gurnita Kusuma ini sejatinya mewakili Tabanan ke PKB tahun 2020. Namun hal itu tertunda karena Covid-19 dan baru tahun ini bisa tampil. Vakum selama dua tahun lebih tak membuat para pembina kesulitan dalam melatih ulang.
“Proses kreatifnya tidak terlalu menemui kendala. Kebetulan ini sudah diregenerasi dan mereka sudah punya basicnya. Sehingga para pembina tinggal mematangkan saja,” tuturnya.
Sementara itu, Gong Kebyar Anak-anak Sanggar Haridwipa Gamelan Grup juga melakukan persiapan sudah cukup lama. Koordinator Sanggar Haridwipa Gamelan Group, I Gusti Nengah Hari Mahardika, S.Sn., M.Sn., mengatakan seleksi para seniman anak-anak sudah berlangsung sejak akhir Desember 2021. Untuk menyeleksi pun, pihaknya mendatangkan komposer dan seniman karawitan yang sudah mumpuni di bidangnya.
“Jadi yang tampil ini adalah anak-anak pilihan semuanya. Proses seleksinya kami datangkan teman-teman komposer dan seniman-seniman yang sudah berpengalaman di bidang karawitan. Kita memberikan kebebasan kepada komposer dan seniman itu tanpa campur tangan kita. Sehingga lebih banyak ada yang manganalisa. Jadi lebih jelas konseptual yang akan diutarakan,” ujarnya.
Setelah anak-anak ini terpilih, selanjutnya mereka diajarkan dari nol. Menurutnya, tidak ada kendala yang berarti lantaran anak-anak tersebut sudah diberikan pemahaman tentang analisa, proses kreatif, dan berkomposisi.
Sebagai sajian pertama, mereka menampilkan Tabuh Lima Gambur Anglayang dimana musikalitas teknik kekaryaan mengalir seperti air yang mengisi setiap sudut ruang renggang. Gambur Anglayang sebagai analogi ruang renggang yang ornamentasi musikalnya adalah interpretasi hiasan ruang yang memanipulasi renggang tersebut.
Dilanjutkan dengan Tari Kreasi “Wangsuh Peneduh” yang mengangkat mitologi kepercayaan masyarakat Desa Sanggulan Tabanan tentang Goa Sanggulan. Diceritakan, Tongkin merupakan penghuni pertama di Bali, hidup di goa-goa dengan realita nyata jejak kehidupan masyarakat Sanggulan Tabanan. Stigma Raksasa Sanggulan melarikan penari rejang yang terakhir ditemukan di Gua Sanggulan menjadi aktualisasi nyata antara fiksi dan kenyataan. Tafsir realita merujuk pada terbunuhnya raksasa terakhir dengan membakar serta membunuhnya dengan pohon timbul. Namun saat itu disertai dengan terciptanya wabah. Muncul kemudian Pura Peneduh dengan “Wangsuhpada” atau air suci penetralisir wabah dan mara bahaya menjadi penyeimbang dan mengharmonisasi kehidupan.
Sementara garapan terakhir ditampilkan Tabuh Kreasi Hujan Kesanga yang menggambarkan transformasi konsepsi turunnya hujan ketika sasih kasanga mengantarkan pada tafsir karya dengan interpretasi jatuhnya air tidak beraturan, berbentur, beriak penuh kekuatan. Hujan memberi anugerah tak terduga mengalir memenuhi ruang, membentuk imaginasi dari sebuah situasi air yang terjatuh. (red)