Categories Denpasar Seni

Gong Kebyar Legendaris “Menggema” di PKB ke-44, Penabuhnya Lintas Generasi

Denpasar (Penabali.com) – Setelah Sekeha Gong Candra Pangan, Desa Sibanggede, Kabupaten Badung dan Sanggar Karawitan Bungan Dedari ISI Denpasar tampil pada Senin (20/6/2022), kini giliran Sekeha Gong Abdi Budaya, Banjar Banjaranyar, Desa Perean Kangin, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan dan Sekeha Gong Gunung Sari, Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar yang tampil di Parade Gong Kebyar Legendaris Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Art Center, Selasa (21/6/2022) malam. Keduanya menjadi primadona bagi penonton yang menyesaki bangku di Ksirarnawa.

Koordinator Sekeha Gong Abdi Budaya Tabanan, I Wayan Tusti Adnyana, mengungkapkan untuk tampil di Parade Gong Kebyar Legendaris, Sekeha Gong Abdi Budaya melibatkan generasi kedua yang tersisa masih dua orang dan sisanya merupakan generasi ketiga. Tusti menjelaskan, karena parade bertema legendaris maka pihaknya mendatangkan generasi kedua yang tersisa meski sudah lanjut usia.

Dijelaskan, generasi pertama Sekeha Gong Abdi Budaya dibentuk tahun 1960-an, sedangkan generasi kedua tahun 1980-an, dan generasi ketiga mulai tahun 2009.

“Sesuai dengan tema legendaris, kami hadirkan generasi kedua yang masih tersisa dua orang. Bahkan jalannya ada yang dipapah. Kira-kira usianya 75 tahunan. Untuk tampil kali ini, kami posisikan beliau berdua di barisan belakang serta masih ada satu orang penari legendaris masih hidup, namun sudah lama tinggal di Denpasar,” jelasnya.

Untuk tampil kembali diakui memang ada sedikit kendala, terutama dalam penyatuan rasa. Sebab, penabuh generasi kedua yang sudah lanjut usia sedikit lemah dalam hal tenaga, sementara generasi ketiga memerlukan gambaran tentang pola tabuh di masa lampau yang pernah membawa Sekeha Gong Abdi Budaya berjaya pada masanya.

“Menyatukan rasa memang agak sulit karena generasi kedua kemampuan tangannya sudah agak berkurang. Jadi saya pasang generasi kedua itu di barisan belakang. Justru generasi ketiga yang saya pasang di barisan depan, karena tekniknya masih bagus dan masih segar. Akan tetapi, untuk menampilkan legendaris ini kami bertanya pada generasi kedua bagaimana pola tabuhnya, kita jadikan narasumber. Generasi kedua yang paling tahu sebenarnya, sedangkan generasi ketiga yang mengeksekusi,” paparnya.

Ada empat sajian yang ditampilkan Sekeha Gong Abdi Budaya, diantaranya Tabuh Kreasi Sapta Bhuana yang diciptakan pada tahun 1971 oleh Gusti Bagus Suharsana, Tari Oleg Tamulilingan yang diciptakan I Ketut Mario pada tahun 1952, Tabuh Kreasi Abdi Budaya yang diciptakan Gusti Bagus Suharsana pada tahun 1971, dan Tari Truna Jaya yang diciptakan I Gede Manik dari Desa Jagaraga Buleleng pada tahun 1915.

Tusti menjelaskan secara singkat, berdasarkan informasi dari I Made Biodana (Kelian Gong 1967-1999), gamelan gong kebyar yang berada di Banjar Anyar, dulunya dimiliki salah satu warga di Banjar Pesanggaran, Pedungan, Denpasar Selatan atas nama Mangku Wayan Sena. Gamelan itu sempat ditanam di Pura Petasikan Penepisiring, Pesanggaran, Pedungan, dengan tujuan agar gamelan tidak dirampas oleh penjajah Belanda.

Setelah gamelen tersebut lama tertanam, timbulah niat dari Mangku Wayan Sena untuk menjual gamelannya dan informasi tersebut sampai ke masyarakat Banjar Anyar. Dengan adanya informasi tersebut, masyarakat Banjar Anyar mengadakan rapat banjar dan setuju untuk membeli gamelan tersebut.

Mangku Wayan Sena bersama masyarakat Banjar Anyar kemudian melakukan perjanjian tertulis yang hasilnya mulai tahun 1942 gamelan tersebut menjadi milik Banjar Anyar. Gamelan yang dibeli waktu itu masih berbentuk barungan gamelan bebarongan dan di Banjar Anyar, gamelan ini dilebur dan diperbaharui kembali untuk dijadikan barungan gamelan gong kebyar.

Pada saat itu, hanya instrumen gong gantung saja yang tidak dilebur. Alasannya, melebur barungan gamelan bebarongan tersebut adalah untuk kepentingan dalam upacara adat atau agama, contohnya agar gamelan tersebut bisa digunakan untuk memainkan gending atau tabuh lelambatan yang memerlukan tambahan oktaf dari gamelan bebarongan tersebut.

Sampai saat ini masyarakat Banjar Anyar, Perean Kangin, sangat mengusung tinggi adat, budaya, dan tradisi yang sudah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan diwarisi leluhur terdahulu. Salah satu unjuk nyata masyarakat setempat, yaitu nyungsung Ratu Gede dalam wujud gong kebyar. Ratu Gede merupakan gamelan yang disucikan oleh masyarakat Banjar Anyar dan salah satu sungsungan masyarakat Banjar Anyar yang sama kedudukannya dengan tapakan yang berwujud barong, rangda, dan pratima.

Ratu Gede dipuja masyarakat Banjar Anyar sebagai dewa kesenian yang dipercaya akan memberikan taksu kepada masyarakatnya yang menekuni dunia seni.

Sedangkan Sekeha Gong Gunung Sari Peliatan, Ubud, merupakan salah satu grup kesenian lengendaris yang tak bisa dilepaskan dari perannya mempromosikan budaya Bali di kancah dunia sejak tahun 1930-an. Awal berdirinya Sekeha Gong Peliatan dengan media gamelan gong kebyar diprakarsai Alm. Anak Agung Gede Ngurah Mandera didampingi Alm. I Made Lebah, Alm. I Gusti Kompiang Pangkung beserta anggota lainnya.

Sekeha Gong Gunung Sari Peliatan mementaskan Tabuh Pisan Lelambatan dengan genre lelambatan pepanggulan serta menggunakan sistem kolotomi pegongan dan struktur tabuh yang pendek (pegongan pisan). Selanjutnya menyajikan Tari Kebyar Trompong yang dilanjutkan dengan Tari Kebyar Duduk. Karya tari ini diciptakan Alm. I Ketut Marya (Mario) yang memiliki daya spontanitas, kelenturan dan keluwesan gerak tubuh, yang dilakukan dalam posisi duduk sambil dengan lincah dan ekspresifnya memainkan instrumen terompong.

Pada penampilan berikutnya, menyajikan Tabuh Kapiraja, yang menggambarkan keagungan dan kewibawaan Sang Raja Kera (Sugriwa) dengan dinamika yang kompleks sebagai cerminan situasi dan kondisi pada masa awal abad ke-19.

Di akhir pertunjukannya, menyajikan Tari Oleg Tambulilingan. Tari ini diciptakan Alm. I Ketut Marya dengan menggunakan konsep koreografi ballet dengan materi gerak Bali.

Tari ini menggambarkan seekor kumbang yang terbang mengitari bunga seakan memuji keindahan, kecantikan, dan keharumannya.

Selanjutnya penampilan Tari Kebyar Terompong disambung dengan Tari Kebyar Duduk. Uniknya, ada pertemuan tiga generasi penari Kebyar Duduk Peliatan dalam satu panggung.

Pertama, Anak Agung Oka Dalem menarikan Tari Kebyar Terompong yang masih serumpun dengan Tari Kebyar Duduk. Lalu, dilanjutkan Anak Agung Gde Bagus Mandera Erawan menarikan bagian awal dari Tari Kebyar Duduk yang kemudian diteruskan oleh I Made Putra Wijaya selaku generasi muda penerus yang menarikan Tari Kebyar Duduk sampai akhir.

Penampilan Tari Kebyar Duduk tiga generasi itu bagaikan sebuah konsep kehidupan yang selalu berbicara tentang masa lalu, masa kini, untuk kemudian mempersiapkan diri dalam menyongsong masa depan.

“Begitulah konsep regenerasi yang dilakukan oleh para seniman seni pertunjukan Peliatan, yang selalu bersinergi dalam menjaga warisan dari kecerdasan masa lampau para tokoh seniman pendahulu,” jelas Wayan Pacet Sudiarsa selaku Ketua Lembaga Seni Natya Sani Desa Peliatan sekaligus penabuh Sekeha Gong Gunung Sari.

Sekilas tentang Sekeha Gong Gunung Sari Peliatan

I Wayan Pacet menceritakan di awal abad ke-19, Sekeha Gong Peliatan yang sekarang dikenal dengan nama Sekeha Gong Gunung Sari Peliatan, juga mengawali organisasinya dengan membentuk sekeha atau kumpulan orang yang gemar berkesenian terutama seni karawitan dan tari. Aktivitas awal yang dilakukan adalah ngelawang (seni pertunjukan keliling) dengan menggabungkan kesenian barong dan arja yang destinasinya sampai ke Bali Utara tepatnya di Kota Singaraja.

Pada masa tersebut, Singaraja merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda yang tentunya menjadi pusat perkembangan budaya Bali termasuk kesenian. Aktivitas sekeha ngelawang yang dilakukan sampai ke Singaraja, telah memberikan pengalaman tersendiri bagi seluruh anggota sekeha yang dalam perjalanannya banyak berjumpa dengan kesenian Bali Utara yang akhirnya menggugah hati anggota untuk membentuk sebuah sekeha yang lebih serius.

Bentuk kesenian Bali Utara yang menggugah hati anggota Sekeha Ngelawang Peliatan adalah kesenian gong kebyar. Kesenian inilah yang menjadi tonggaknya.

Aktivitas latihan terus dilakukan dengan sepenuh hati oleh anggota sekeha. Seiring berjalan waktu dari aktivitas berkesenian, dipertemukanlah sekeha ini dengan para seniman dari seluruh Bali sehingga terjadi akulturasi budaya antara budaya Peliatan Gianyar dengan daerah lainnya. Berbagi atau sharing pengalaman yang bermuara pada penyempurnaan ide atau gagasan revolusioner pun terjadi yang kemudian membuahkan karya-karya seni tabuh dan tari yang sampai saat ini masih bisa didengar dan dinikmati.

Peristiwa besar pertama yang membesarkan nama Sekeha Gong Peliatan adalah adanya undangan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk tampil di World Colonial Exposition Paris pada tahun 1931 untuk memainkan karya-karyanya. Penampilan di Paris inilah yang menjadikan Sekeha Gong Peliatan semakin dikenal di Bali dan di kalangan masyarakat dunia.

Sekembalinya Sekeha Gong Peliatan dari Paris, dibentuklah suatu kesepakatan untuk membeli seperangkat gamelan dengan setiap anggota yang berjumlah 25 orang menyisihkan uang saku selama 3 bulan di Paris untuk biaya pembuatan gamelan. Kemudian disepakati Gunung Sari sebagai nama dari sekeha gong ini.

Berbekal pengalaman luar biasa dalam mengemban misi kesenian ke Paris, semangat berkesenian Sekeha Gong Gunung Sari Peliatan semakin membara. Aktivitas latihan secara konsisten dilakukan sehingga karya-karya baru terus terlahir. Salah satunya adalah Tari Oleg Tamulilingan yang konsepnya mengikuti pas de deux atau tari duet, tari ballet. Tarian ini yang diciptakan dengan mengundang I Ketut Marya dan Pak Sukra (keduanya dari Tabanan) melukiskan tentang mekar ranumnya masa remaja yang digambarkan dengan seekor kumbang mengitari bunga bagaikan memuji keindahan dan keharuman bunga (Tambulilingan Ngisep Sari).

“Karya tari ini sampai sekarang masih bisa kita nikmati, begitu juga dengan karya-karya yang lainnya yang seakan tidak lekang oleh waktu,” ucapnya.

Perjalanan serta pengabdian terhadap kesenian yang dilakukan Sekeha Gong Gunung Sari terus berlanjut, sampai melanglang buana ke beberapa negara di dunia.

Deretan tur yang pernah dilakukan Sekeha Gong Gunung Sari Peliatan sejak tahun 1931 sampai 1998. Antara lain Paris (1931), London (1932), Amerika (1952), Perancis (1953), membuat autobiografi dengan BBC London (1968), Australia di Melbourne, Sidney, dan Canberra (1971), Amerika di Kota Mexico (1981), Amerika di Kota LA, New York, Washington DC, dan Chicago (1996) serta tur eropa ke Paris, Jerman, Belanda, Belgia, dan Swiss (1998).

Begitulah setiap melahirkan karya baru para tokoh seniman Peliatan selalu membuka diri terhadap segala bentuk perkembangan sehingga terjalin hubungan-hubungan dengan para kreator seni di berbagai daerah di Bali. Para seniman Peliatan bersinergi dan secara jujur serta tulus iklas berkarya demi khasanah seni budaya Bali yang kemudian diwariskan kepada generasi penerusnya. (rls)