Badung (Penabali.com) – Kekerasan seksual masih tinggi terjadi di Indonesia hingga saat ini. Data menunjukkan kekerasan seksual mencapai 22,4% peserta didik jenjang SD sampai SMA dan SMK berpotensi mengalami insiden kekerasan seksual.
Faktor penyebabnya beragam, mulai seringkali menerima banyak bentuk kekerasan di kehidupan sehari-hari. Bentuk kekerasan tersebut malah dianggap sesuatu yang normal. Hal tersebut disampaikan Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami, Kamis (25/5/2023), di Seminyak, Badung.
“Kekerasan seksual memang masih tinggi terjadi di Indonesia hingga saat ini,” sebut Rusprita.
Ia mengatakan, kekerasan seksual terjadi karena kekerasan sering terjadi di kehidupan sehari-hari yang justru dianggap normal.
“Seringkali banyak bentuk-bentuk kekerasan yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Bentuk kekerasan yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari ini dianggap sesuatu yang normal padahal telah masuk ke ranah kekerasan,” paparnya.
Menurut Rusprita, kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja tidak hanya di kota besar, tetapi dimana saja bisa diranah publik tetapi juga di ranah domestik.
“Berbicara kekerasan ini bisa terjadi dimana saja, siapa saja dapat menjadi pelakunya, dan siapa saja bisa menjadi korbannya sehingga memang menjadi pekerjaan rumah kita bersama-sama,” ucapnya.
Dalam upaya penanganan menurut Rusprita, kampanye serta edukasi publik untuk menyadarkan seluruh ekosistem pendididkan wajib dilakukan.
“Penguatan karakter sangat gencar telah kami lakukan. Ingin melakukan kampanye serta edukasi publik untuk menyadarkan seluruh ekosistem pendididkan tidak hanya ke pelajar saja melainkan ke para guru-guru, pemerintah daerah, masyarakat bahkan ke orang tua untuk memahami bentuk-bentuk kekerasan,” jelasnya.
Kajian kebijakan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan harus lebih konprehensif.
“Kita ingin mengusahakan ada kebijakan yang lebih komprehensif dan lebih inplementatif, yang memang sama-sama dapat dijalankan tidak hanya satuan pendidikan tetapi juga melibatkan peran pemerintah daerah bahkan peran masyarakat dan orang tua,” paparnya.
Rusprita menambahkan, untuk target rampung kebijakan tersebut tinggal ditunggu karena kebijakannya lintas kementerian dan lembaga sehingga masih terus dibahas bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama dan kementerian terkait lainnya.
‘Harapannya tahun ini sudah kita miliki kebijakan baru,” harapnya. (red)