Denpasar (Penabali.com) – Konferensi ASEAN tentang Pencegahan dan Respon terhadap Penyalahgunaan Penyedia Jasa Keuangan dalam Eksploitasi Seksual Anak (ESA), telah berlangsung pada hari Rabu dan Kamis 7 – 8 Agustus 2024 di Grand Ballroom Hotel Aston Denpasar, Bali. Konferensi yang dihasilkan selama 2 hari ini menghasilkan rekomendasi dengan tajuk “Bali Recommendation” mengenai langkah-langkah pencegahan penyalahgunaan penyedia jasa keuangan dalam kasus eksploitasi seksual anak.
Kejahatan eksploitasi seksual anak, termasuk perdagangan anak untuk tujuan seksual, diketahui menghasilkan keuntungan yang cukup besar. International Labour Organization memperkirakan totalnya keuntungan yang diperoleh dari penggunaan kerja paksa, termasuk eksploitasi seksual adalah sebesar USD 150,2 miliar per tahun. Menurut ILO, total keuntungan tahunan berada pada batasnya tertinggi di Asia (USD 51,8 miliar) dan negara maju (USD 46,9 miliar) pada tahun 2014. Penyebabnya adalah tingginya jumlah korban di Asia dan besarnya keuntungan per korban di negara maju.
Menurut Laporan Financial Intelligence Alliance, Eksploitasi Seksual pada Anak (ESA) dimungkinkan karena adanya transaksi finansial antara pelaku dan korban, antara pelaku dan fasilitator/mucikari atau antara pelaku dan pemasok (pembelian konten-konten materi kekerasan/eksploitasi seksual anak).
Transaksi-transaksi ini terjadi karena adanya kemudahan dalam pemanfaatan teknologi finansial yang saat ini banyak dikembangkan oleh jasa penyedia keuangan di ranah global. Diperlukan kecerdasan finansial dalam mendeteksi dan menghentikan eksploitasi seksual terhadap anak pada sektor keuangan.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya transaksi keuangan sebesar Rp 114 miliar terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan pornografi anak di tahun 2022, yang mana kedua kejahatan termasuk ke dalam bentuk kejahatan eksploitasi seksual anak. Pelacakan PPATK tersebut berhasil diungkap melalui aktivitas transaksi perbankan.
PPATK menyatakan banyak pelaku pornografi anak menggunakan dompet digital/e-wallet untuk pembayaran konten. Para pelaku dari eksploitasi seksual anak ini bukan hanya berasal dari wilayah Indonesia saja, namun juga berasal dari luar negeri, mereka mencari konten-konten eksploitasi seksual anak di Indonesia dan melakukan pembayaran dengan menggunakan bank-bank dan penyedia jasa keuangan lainnya yang bisa mereka gunakan untuk mengirimkan uang tersebut.
ECPAT Indonesia berkolaborasi dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) dengan dukungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta ASEAN Secretariat, menyelenggarakan Konferensi ASEAN tentang Pencegahan dan Respon terhadap Penyalahgunaan Penyedia Jasa Keuangan dalam Eksploitasi Seksual Anak, di Bali pada tanggal 7 s/d 8 Agustus 2024.
Konferensi ASEAN juga mendapat dukungan dari lembaga-lembaga yang memiliki kepedulian pada perlindungan seperti Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), OUR Rescue Indonesia dan Yayasan Kasih Yang Utama (YKYU). (ika)