Denpasar (Penabali.com) – Persoalan limbah dari sektor rumah tangga hingga pertanian kini menjadi tantangan serius, bukan hanya bagi lingkungan, tetapi juga terhadap ketahanan pangan. Namun, alih-alih dipandang sebagai beban, limbah justru bisa menjadi jalan menuju pertanian yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Hal itu disampaikan oleh I Nengah Muliarta, akademisi Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Sains, dan Teknologi Universitas Warmadewa, saat menjadi pemateri dalam kegiatan Training on The Professional Competence of Mastering Environmental Quality Monitoring and Air Pollution Testing yang digelar Bali Business School bersama peserta dari Timor Leste di Kuta, Badung, Senin (18/8/2025).
Menurutnya, sudut pandang terhadap limbah perlu diubah. Limbah organik yang selama ini menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebenarnya menyimpan potensi besar sebagai sumber daya bernilai tinggi. “Petani biasanya membuang limbah pertanian karena buru-buru mengejar masa tanam berikutnya, padahal limbah tersebut bisa diolah menjadi pupuk,” jelas Muliarta.
Data global mencatat, sepertiga produksi pangan dunia atau sekitar 1,3 miliar ton hilang setiap tahun. Limbah pangan di TPA menghasilkan gas metana yang 21 kali lebih berbahaya dibanding karbon dioksida dalam memperangkap panas. Kondisi ini disebut Muliarta sebagai ancaman nyata bagi iklim dan lingkungan.
Ia menambahkan, konsep ekonomi sirkular memungkinkan limbah rumah tangga, termasuk sisa makanan, diolah menjadi kompos berkualitas. Metode seperti Takakura, misalnya, mampu mengolah hingga 1,5 kg sampah organik per hari dan sangat cocok diaplikasikan pada lahan terbatas.
Tidak hanya limbah domestik, sektor pertanian pun menghasilkan jumlah limbah besar. Dalam budidaya padi, setiap kilogram gabah akan menyisakan 1–1,5 kg jerami. Dari proses penggilingan, muncul 25% sekam dan 8% dedak. Selama ini, material tersebut kerap dibakar atau dibiarkan membusuk, padahal bisa dimanfaatkan kembali.
Melalui pendekatan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture), jerami dan sekam bisa dikembalikan ke lahan sebagai pupuk organik, dijadikan pakan ternak, maupun digunakan sebagai media tanam. Muliarta mencontohkan praktik kearifan lokal yang telah lama ada, di mana sisa makanan dan limbah pertanian dimanfaatkan untuk ternak, kemudian kotoran ternak kembali menjadi pupuk yang menyuburkan tanah.
“Dengan siklus ini, lahan pertanian dapat dikelola lebih efisien, polusi berkurang, dan ketergantungan terhadap pupuk kimia yang harganya mahal bisa ditekan,” ujarnya.
Muliarta menekankan, inti dari ekonomi sirkular adalah menutup siklus produksi dan konsumsi. Setiap limbah diolah kembali agar menghasilkan nilai baru. “Mengolah limbah berarti menjaga lingkungan sekaligus memperkuat kemandirian pangan. Setiap sampah organik yang kita kelola adalah langkah menuju kedaulatan pangan,” tegasnya.
Menurutnya, penerapan konsep ekonomi sirkular dan LEISA bukan sekadar strategi pengelolaan sampah, melainkan transformasi besar dalam pertanian. Sistem ini diyakini akan menciptakan ekosistem pangan yang lebih tangguh, efisien, dan berkelanjutan, sekaligus menjaga bumi tetap hijau untuk generasi mendatang. (rls)