Categories Denpasar Seni

Lomba Baleganjur PKB ke-44, 3 Sekeha Gong Remaja Tampil Bawakan Tema “Air Terjun”

Denpasar (Penabali.com) – Seni Baleganjur Remaja kembali dilombakan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022 di Panggung Terbuka Ardha Candra Taman Budaya Provinsi Bali Art Center, Denpasar, Senin (13/6/2022).

Tiga daerah mendapat kesempatan pertama berlomba yakni Duta Kesenian Kabupaten Badung, Duta Kesenian Kabupaten Tabanan, dan Duta Kesenian Kota Denpasar.

PKB XLIV tahun 2022 mengambil tema besar “Danu Kerthi: Huluning Amreta” dimaknai pemuliaan air sebagai sumber kehidupan. Mengacu pada tema tersebut, para duta seni dari Kabupaten Badung, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar mencoba menggali tema garapan berdasarkan inspirasi, kondisi dan sejarah desa sekitar.

Seperti halnya penampilan pertama dari Sanggar Seni Sabda Murti, Banjar Kerta, Desa Adat Kerta, Kecamatan Petang, Badung. Sanggar ini mengangkat tema “Ceburan Gong” terinspirasi dari cerita dan mitologi atas terbentuknya sebuah air terjun di daerah Desa Batulantang, Kecamatan Petang.

Konon air terjun tersebut merupakan permohonan kepada Ida Bhatari Ulun Danu Beratan dari seorang Raja bergelar I Gusti Ngurah Pacung Gede Oka Amangku Bhumi dari Kerajaan Pungging Puspa, yang sekarang bernama Desa Carangsari.

Permohonan kepada Ida Bhatari Ulun Danu Beratan ini dengan tujuan mengatasi krisis air di wilayah kerajaannya. Pada saat-saat tertentu khususnya pada sasih karo, suara gemuruh air terjun tersebut terdengar hingga ke pedesaan seperti suara gong.

“Garapan baleganjur ini diberi judul Ceburan Gong. Ceburan Gong diibaratkan debit air yang besar jatuh dan menghantam daratan dengan akustik ruang yang bertebing tinggi dan mengeluarkan suara gemuruh bagaikan suara gong yang menghentak nan menggema,” ungkap Kordinator Sanggar Seni Sabda Murti, I Wayan Gede Suwetra sebagaimana dalam sinopsis tertulisnya.

Tema “Air Terjun” juga termuat dalam garapan dari Sekaa Baleganjur Dhananjaya, Banjar Mertasari, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan dengan judul “Belah Metu”. Koordinator garapan, I Yawan Yudiarta dalam sinopsisnya menjelaskan, Singsing Blemantung menjadi menarik dan ikonik bagi masyarakat Tabanan, khususnya di Desa Pujungan. Kata Singsing, oleh masyarakat Pujungan diasosiasikan sebagai air terjun. Sedangkan Blemantung secara etimologis tersusun dari dua etimon yakni “Belah” berarti pecah dan “Metu” berarti timbul atau muncul. Singsing Blemantung ini yakni air terjun yang muncul dari sela/pecahan batu.

“Bagian awal merefleksikan konsentrasi pada karakteristik air yang mengalun, ricikan dan percikan air yang kompleks, dielaborasi pada rincikan dan bentuk musikal baleganjur. Aktivitas sosial budaya masyarakat sekitar Singsing Blemantung diungkapkan dengan konsep hibridisasi, yakni gaya dan konten gending ecet-ecetan khas Desa Pujungan, diadaptasi sesuai dengan interpretasi musikal menyesuaikan dengan ocak-ocakan serta gegulak penata,” jelasnya.

Selanjutnya penampilan Kota Denpasar yang diwakili Sekaa Telung Barung, Desa Adat Penatih, Kecamatan Denpasar Timur Zyang mengangat cerita “Karesian”. Kordinator Sekaa Baleganjur Telung Barung, Gusti Putu Nuada, mengatakan Karesian merupakan sistem kelola air pada zaman Bali kuno yang mengelola lima pokok sumber air, yaitu air laut, air danau, pancoran, telaga, dan sumber mata air/empul.

Kelima sumber mata air ini identik dengan Panca Tirta. Panca Tirta terformulasi dalam “Siwambha” seorang pendeta melalui Japa, Mantra, Puja yang teraplikasikan pada elemen melodi, ritme, dinamika. Mudra diaplikasikan dengan gerak. Genta diaplikasikan sebagai penyelaras atau transisi. Semua itu merupakan gabungan dari Sapta Gangga menjadi Amerta (sumber kehidupan).

Maka dari itu, seorang pendeta dalam memformulasi Sapta Gangga diistilahkan melaksanakan “Yoga Candi Air” identik dengan Panca Rsi, sama halya dengan penggarap gending dan penggarap gerak dalam menciptakan karya balaganjur ini. Candi air sebagai sumber kehidupan berfungsi sama seperti sastra untuk memberikan pencerahan dan pembersihan pikiran yang kotor.

“Jadi Karesian (tata kelola air/sastra), Karatuan (tata kelola pemerintahan), dan Karaman (tata kelola masyarakat). Ketiga tata kelola tersebut diejawantahkan dalam keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara teori, penggarap, dan pendukung sebagai sumber hidupnya keindahan dalam karya seni balaganjur,” pungkasnya. (rls)