(Penabali.com) – Beberapa waktu belakangan ini, perbincangan mengenai resesi mulai berkeliaran, baik secara global maupun nasional. Hal ini terjadi ketika bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi.
Dengan kebijakan tersebut, Bank Dunia mulai melaporkan bahwa resesi global akan terjadi pada tahun 2023, diikuti dengan serangkaian krisis di pasar negara berkembang. Lantas, bagaimana nasib Indonesia sebagai negara berkembang? Dan apa yang perlu disiapkan untuk menghadapi resesi?
Dalam rangka menghadapi inflasi yang terjadi karena pemulihan pasca pandemi, bank-bank sentral di seluruh dunia perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 poin persentase agar sesuai dengan target Bank Dunia. Ketika peningkatan ini disertai dengan tekanan pasar keuangan, pertumbuhan PDB global akan melambat menjadi 0,5% pada 2023, kontraksi 0,4% dalam istilah per kapita yang akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.
Sebagai negara dengan pasar berkembang, Indonesia tentu akan mengalami dampak resesi global, dimana penurunan permintaan kemungkinan akan diikuti oleh harga komoditas yang lebih rendah. Dengan instabilitas ekonomi yang terjadi secara global, IMF pun memangkas kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 dari sebelumnya 5,2% menjadi 5%.
Proyeksi gejolak perekonomian Indonesia ini dapat membuat kekhawatiran bagi masyarakat, khususnya terhadap instabilitas suku bunga yang dapat mempengaruhi kredit. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan merubah skema cicilan menjadi fixed rate agar mengurangi ketidakstabilan melalui Kredit Take Over. Sebagai financial aggregator yang sudah tercatat di OJK sejak 2019, Loan Market menawarkan network yang ekslusif ke 35 partner lender dari perbankan dan berbagai institusi keuangan lainnya, termasuk jasa konsultasi untuk alternatif pinjaman, sehingga memudahkan masyarakat dalam menemukan skema pinjaman yang tepat. Tidak hanya Kredit Take Over, Loan Market juga memiliki berbagai produk lainnya yang meliputi KPR, Multiguna, Kredit Modal Usaha, Deposito, serta Kredit Investasi.
Namun walaupun di tengah gejolak ekonomi yang terjadi, pemerintah Indonesia masih menunjukkan reaksi positif. Bahkan, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Kuartal III-2022 akan mencapai 5,5% secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi Kuartal II-2022 yang tumbuh 5,44% (yoy).
Selain proyeksi dari BI, mantan Menteri Keuangan RI, Chatib Basri, pun menyampaikan.
“Kalau ditanya apakah Indonesia akan resesi atau tidak, jawaban saya tidak,” ujarnya pada Investor Daily Summit, Selasa (11/10/2022).
Kepercayaan Chatib terhadap perekonomian Indonesia dilandasi oleh fakta bahwa perlambatan ekonomi global akan berdampak terhadap penurunan ekspor, termasuk Indonesia. Namun, karena share dari ekspor Indonesia terhadap PDB relatif kecil dan harga batu bara yang masih relatif baik, Chatib menyebutkan dampaknya sedikit terbatas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut ekonom tersebut, Indonesia memang akan mengalami perlambatan, namun tidak sampai resesi.
Respon yang sama disampaikan Dina Carolina selaku Director Operations Bank of India.
“Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini sudah terfokus untuk mendukung ekonomi produktif dan keuangan inklusif kepada komunitas UMKM, wanita dan pemuda yang relatif bersifat swadaya, yaitu dari Indonesia untuk Indonesia. Sehingga tidak terlalu terfokus oleh resesi global,” ujarnya.
Senada dengan yang disampaikan pegiat ekonomi tersebut, Asian Development Bank (ADB) pun melansir bahwa pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara menunjukkan tren positif. ADB melihat rata-rata pertumbuhan ekonomi diproyeksi berada di kisaran 5% pada 2023, jika dilihat secara global, angka pertumbuhan 5% ini terbilang tinggi jika dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan dunia dari World Bank (Bank Dunia).
Kendati demikian, Indonesia sebagai negara berkembang di Asia Tenggara masih berada pada jalur pemulihan yang sesuai. Pemerintah Indonesia pun meyakinkan bahwa kebijakan-kebijakan yang memadai telah disiapkan untuk menghadapi ketidakstabilan ekonomi. Namun, alangkah lebih baik untuk mempersiapkan keuangan secara lebih matang agar lebih tertata di masa ketidakstabilan.
Sari Dewi selaku CEO Loan Market Indonesia menyampaikan bahwa Loan Market dapat menjadi solusi bagi permasalahan keuangan untuk masyarakat yang membutuhkan, apalagi ditengah instabilitas yang terjadi.
“Loan Market sebagai financial aggregator sangat tangkas dan adaptable dalam menghadapi perubahan ekonomi yang terjadi, sehingga kita dapat memberikan jasa konsultasi yang sesuai dengan konteks perekonomian serta bersifat customer-centered,” jelasnya.
Hingga kini, Loan Market telah bekerja sama dengan lebih dari 35 institusi keuangan (lenders) baik dari perbankan, multifinance, fintech, dan koperasi dengan 21 kantor cabang dan lebih dari 200 Loan Advisers yang tersebar di kota-kota besar Indonesia. Loan Market telah resmi tercatat di Otoritas Jasa Keuangan sejak 2019. (rls)