Wakil Gubernur Bali Tjok Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) mengatakan peluang Bali untuk membidik satu jenis wisata baru di era new normal adalah bekerja dari Bali atau working from Bali.
“Saya jadi teringat cerita seorang warga negara Prancis yang dalam jangka waktu setahun bisa dua kali berkunjung ke Bali dalam rentang waktu yang cukup lama. Ternyata dirinya memang sengaja bekerja dari Bali, tinggal di Bali untuk mengurus perusahaannya dengan modal laptop kecil, dan teras villa sederhana di Ubud. Dari cerita tersebut, saya pikir ‘working from Bali’ bisa dilakukan,” kata Wagub pada acara webinar Road Map to Bali Next Normal : Imagine Working from Bali, Why Not?, Jumat (26/06/2020).
Menurut Wagub Coka Ace, peluang Bali menangkap wisata baru ini sangat terbuka lebar. Ia membeberkan, dari sisi lingkungan, Bali memiliki alam yang indah, udara yang relatif bersih dengan cuaca yang stabil sepanjang tahun. Dari sisi kesehatan, suasana Bali yang tenang dan aman membuat working from Bali menjadi lebih fresh dan pikiran bisa jauh dari stress sehingga pada akhirnya bekerja bisa lebih produktif.
Kemudian dari sisi biaya hidup, Bali relatif lebih terjangkau. Taksu Bali, getaran religius dari healing power yang dilakukan krama Hindu di Bali membawa vibrasi ketenangan bagi siapa pun.
Wagub Cok Ace juga mengungkapkan keramahtamahan orang Bali, toleransi dan gotong royong yang tinggi, juga menjadi modal besar untuk mengembangkan wisata baru ini. Potensi yang luar biasa ini sangat berpeluang untuk dikembangkan, dengan menyasar para pekerja yang kini lazim disebut ‘digital nomad’.
“Namun tentu saja masih ada beberapa hal lain yang patut disempurnakan seperti akses internet yang lebih cepat dan stabil. Beruntung, sebagian besar wilayah di Bali bukan merupakan ‘blind spot’ sehingga memudahkan akses internet. Bali juga punya program ‘Bali Smart Island’ sehingga di masa mendatang, tidak akan ada lagi kawasan di Bali yang tidak tersentuh akses internet,” jelasnya.
Pembicara lainnya, yakni Dubes Indonesia untuk Cina dan Mongolia, Djauhari Oratmangun mengatakan di China sudah banyak perusahaan yang melihat Bali sebagai salah satu lokasi untuk ‘working space’, mulai dari perusahaan IT raksasa hingga e- commerce yang memang sudah memberikan keleluasaan bagi karyawannya untuk bekerja dari manapun.
“Apalagi para ‘digital nomad’ ini punya kecenderungan spend money yang tinggi,” ungkapnya.
Sementara Paulus Herry Arianto dari CEO Indonesia Bali Chapter mengatakan masa pandemi covid-19 memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru salah satunya bekerja dari rumah. Kebiasaan ini bisa dielaborasikan menjadi bekerja dari Bali.
Senada dengan Dubes Djauhari Oratmangun, bahwa digital nomad ini memang punya spend money yang tinggi. Berdasarkan pengamatan dan perhitungannya, rata-rata para ‘digital nomad’ ini minimal menghabiskan 1.300 US Dollar per bulan per orang, dan jika dihitung per tahun sama dengan 15.600 US Dollar per tahun.
“Jika angka ini dikalikan 100 ribu orang saja, maka potensinya mencapai 1,56 Milyar US Dollar atau sebanding 21,4 triliun rupiah,” sebutnya. (red)