Categories Berita Denpasar

Pembentukan Bali Masih Diatur UU 64/1958, Gubernur Koster Harap Komisi II DPR Segera Bahas RUU Provinsi Bali

Denpasar (Penabali.com) – Gubernur Bali Wayan Koster menerima kunjungan kerja Komisi II DPR RI di Ruang Wisma Sabha Utama Kantor Gubernur Bali di Denpasar, Senin (11/10/2021). Kesempatan bertemu jajaran Komisi II DPR RI dimanfaatkan Gubernur Koster untuk menyuarakan aspirasi agar RUU Provinsi Bali bisa dibahas secepatnya.

Ia berharap, RUU Provinsi Bali bisa mulai dibahas tahun 2022 mendatang agar segera dapat disahkan menjadi undang-undang. Gubernur Koster berpendapat, payung hukum baru sangat urgen bagi Provinsi Bali karena saat ini pembentukan Bali masih diatur dalam satu peraturan perundang-undangan yaitu UU Nomor 64 Tahun 1958, bersama-sama dengan dua provinsi tetangga yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Produk hukum ini, kata Gubernur Koster, masih mengacu pada konsideran Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), dalam bentuk Negara Indonesia Serikat (RIS).

“Mengacu pada UU itu, Bali masih masuk dalam wilayah Sunda Kecil dan ibu kotanya adalah Singaraja. Setiap produk hukum yang kami susun, harus merujuk pada UU itu. Jadi rasanya tanpa makna, secara esensi juga bertentangan,” ucapnya.

Ditambahkan, apabila dikaitkan dengan prinsip ketatanegaraan, sangat tidak baik jika hal ini dibiarkan terlalu lama. Syukurnya, imbuh Koster, tiga provinsi yang terikat dalam satu produk hukum ini tidak ada yang ‘aneh-aneh’, sehingga sejauh ini belum menimbulkan persoalan.

“Kalau ada yang ‘nakal’, ini bisa jadi ruang munculnya sparatisme baru dengan memanfaatkan kesempatan karena lemahnya perundang-undangan. Ruang ini yang harus kita tutup agar tidak ada celah,” ucapnya.

Terkait dengan rancangan RUU yang telah diajukan, mantan anggota DPR RI tiga periode ini sangat terbuka dan menyerahkan sepenuhnya pembahasan di tangan DPR RI.

Pada kesempatan itu, Ia kembali meyakinkan kalau RUU ini sama sekali tak mengundang kepentingan Bali meminta kekhususan. Semangat yang tertuang dalam RUU ini adalah bagaimana menjaga kearifan lokal Bali dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dalam bingkai NKRI, Pancasila dan UUD 1945.

“Intinya, kami ingin Bali dibangun sesuai potensi. Sama sekali tak meminta kekhususan. Dengan UU ini, Bali akan bisa di-empowerment sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki,” cetusnya.

Menanggapi permohonan Gubernur Koster terkait pembahasan RUU Provinsi Bali, Ketua Komisi II DPR RI Dr. H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung yang juga selaku pimpinan rombongan menyampaikan bahwa perubahan UU itu memang sangat penting. Tidak hanya Bali yang mengajukan perubahan UU, ia menyebut setidaknya ada 20 provinsi yang mengajukan perubahan UU.

Menurutnya, di antara sekian banyak RUU yang diusulkan, RUU Provinsi Bali paling menyita perhatian karena memunculkan tentang kekhasan daerah. Agar pembahasannya berjalan lancar dan tak berkepanjangan, pihaknya sudah memberi batasan ‘kekhasan’ bukan ‘kekhususan’ pada RUU Provinsi Bali.

“Bali ini yang isunya paling mengemuka. Kalau yang lain hanya perubahan nomenklatur dari UUDS RIS ke UUD 1945,” imbuhnya.

Sependapat dengan Gubernur Koster, Doli menyebut tidak baik kalau produk hukum yang konsiderannya masih UUDS di era RIS tidak segera diubah. Selain bisa membuka celah munculnya sparatisme, UU lawas itu bisa menjadi masalah ketika satu daerah menjalin kerja sama dengan negara luar. Secara bertahap, RUU yang diajukan sejumlah provinsi itu akan dibahas sesuai tahapan. Ia pun menjanjikan, RUU Provinsi Bali bisa mulai dibahas awal tahun 2022. (rls)