Singaraja ( Penabali.com ) – Pemenuhan hak pilih bagi kelompok marginal dan rentan di Kabupaten Buleleng nampaknya harus dievaluasi usai pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2024 kemarin. Pasalnya, banyak dari kelompok rentan belum terpetakan dengan jelas oleh penyelenggaran pemilu, dalam hal ini KPU Buleleng.
Ditemui di sela – sela Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif pada Jumat (5/4) Komisioner Bawaslu Bali, Ketut Ariyani menjelaskan pihaknya menerima beberapa keluhan utamanya dari kelompok rentan di sejumlah TPS. Pasalnya mereka terkadang dinomor duakan saat hendak akan melakukan pencoblosan di TPS. Padahal suara mereka juga sangat berarti dalam perhelatan pemilu.” Ada keluhan dari beberapa kelompok, jika mereka sudah di TPS dari pagi hingga siang. Tapi ternyata tidak dipanggil – panggil oleh petugas KPPS. Ketika baru ditanyakan, baru diberikan kesempatan,”kata Ariyani.
Menurut Ariyani, hal – hal semacam ini yang nantinya perlu dilakukan evaluasi oleh penyelenggaran pemilu. Ia meminta agar kedepan pemuktahiran data pemilih, khususnya bagi kelompok – kelompok rentan dan marjinal ini harus dibenahi. Apalagi, khusus di Bali, kebanyakan tempat yang digunakan sebagai TPS itu, rata – rata Balai Banjar. “Kalau balai banjar itu kan rata – rata pakai tangga. Kelompok rentan disana harus digotong agar bisa memilih. Apalagi yang sudah pakai tongkat. KPU seharunya mempersiapkan fasilitasnya,”imbuhnya.
Ariyani berharap, data pemuktahiran kelompok rentan dan marjinal ini segera bisa dibenahi. Apalagi saat ini sudah memasuki tahapan Pilkada Buleleng. Jika hal ini dibiarkan, disinyalir kelompok marjinal dan rentan ini tidak menggunakan hak pilih. Bahkan bisa dimanfaatkan pihak yang memiliki kepentingan. “Jika dibiarkan bisa – bisa yang menentukan pilihan berdasarkan pihak yang mengantar dan tidak sesuai dengan keinginan pemilih yang menunjuk siapa yang dimau,”tandasnya.
Selain perhatian terhadap kelompok rentan ini, Ariyani juga menyoroti minimnya keberanian masyarakat untuk melaporkan pelanggaran ke Bawaslu. Mereka terkadang masih ada kekhawatiran dan ketakutan ketika menemukan pelanggaran.”Masyarakat tidak berani menyampaikan laporannya kepada kita. Karena ada tekanan atau ketakutan sehingga masih minim laporan potensi dugaan pelanggaran,”tutupnya. (ika)