Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konstitusi, ditetapkan para pendiri Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya merupakan dokumen hukum tetapi juga mengandung aspek pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa dan menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara.
Anggota Badan Pengkajian MPR RI, I Gusti Ngurah Kesuma Kelakan pada acara penyerapan aspirasi masyarakat yang mengangkat tema “Mengkaji Sistem Ketatanegaraan, UUD NRI tahun 1945, serta Pelaksanannya”, yang dilaksanakan di Desa Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, pada hari Kamis (17/09/2020), mengatakan sistem ketatanegaraan yang pernah berlaku di Indonesia antara lain sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945 pra-amandemen, sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan konstitusi RIS, sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUDS 1950, dan sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen.
Anggota Komisi VIII DPR RI ini menerangkan, Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (demokrasi), yakni pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat. Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedudukan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy). Gagasan negara demokrasi atau sering disebut pula dengan istilah constituional democracy dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasar atas hukum.
Mengutip pernyataan Jimly Asshidiqie, dikatakan bahwa sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme). Perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi pertama mengenai susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR.
“Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif),” terang anggota Fraksi PDI Perjuangan dari Daerah Pemilihan Bali ini.
Kedua Bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, lanjut Kesuma Kelakan, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai supreme body yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannya juga mengalami perubahan-perubahan mendasar.
Politisi yang lebih populer dipanggil Alit Kelakan ini mengungkapkan, Undang-Undang Dasar 1945 telah menunjukkan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang menganut konstitusionalisme, konsep negara hukum, dan prinsip demokrasi.
Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tahap pertama dilakukan pada tahun 1999 dan tahap kedua tahun 2000 dilanjutkan tahap ketiga pada tahun 2001 dan terakhir dilakukan tahap keempat pada tahun 2002.
Fokus perubahannya yaitu Pertama, anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) yang berlaku dalam sistematika di UUD 1945. Kedua, otonomi daerah yang seluas-luasnya. Ketiga, gagasan pemilihan Presiden secara langsung, dan Keempat, gagasan pembentukan lembaga tambahan yaitu dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang akan melengkapi keberadaan DPR sebagai lembaga legislatif.
“Amandemen tahap keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan perubahan yang berarti bagi lembaga negara melalui tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga,” kata Wakil Gubernur Bali periode 2003-2008 ini.
Ia menambahkan, misalnya Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) tidak lagi didudukkan sebagai lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi, melainkan sejajar kedudukannya dengan lembaga negara lain seperti Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
“Pergeseran lain adalah terbentuknya lembaga perwakilan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai utusan daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum,” sambung Alit Kelakan yang juga sempat menjadi anggota DPRD Bali periode 1999-2003.
Secara teoritis alasan dibentuknya lembaga DPD adalah membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (check and balances) antar cabang kekuasaan negara dan antar lembaga legislatif sendiri (Dewan Perwakilan Rakyat).
Ia mengatakan, jika pada saat UUD 1945 pra-amandemen menganut sistem unikameral dengan menempatkan MPR RI sebagai supremasi yang memegang kedaulatan rakyat, maka Sidang Umum MPR tahun 2001 berhasil mengamandemen UUD 1945 dan mengembalikan eksistensi lembaga legislatif ke sistem bikameral.
“Keberadaan DPD RI sebagai lembaga yang berporos di legislatif, dapat ditafsirkan lembaga representative di Indonesia mengadopsi sistem bikameral atau dua kamar. Meskipun pada dasarnya sistem dua kamar selalu identik dengan negara federasi, namun dalam perkembangan ilmu ketatanegaraan sistem bikameral dapat dipraktekkan di negara kesatuan,” lanjutnya.
Alit Kelakam menjelaskan, keberadaan dua kamar tersebut dapat dicermati dari hasil perubahan Pasal 2 ayat (1) UUD NRI yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Selain Alit Kelakan sebagai narasumber, dalam penyerapan aspirasi masyarakat ini juga menghadirkan narasumber I Made Suparta yang menyampaikan materi tentang pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ( UUD NRI) Tahun 1945.
Suparta mengatakan, meskipun negara Indonesia telah merdeka selama 74 tahun, akan tetapi dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan seakan masih dalam tahap mencari format ideal yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia.
“PraktIk ketatanegaraan yang terjadi kurang mencerminkan jiwa dan semangat UUD 1945,” ujar Suparta.
Dengan rumusan singkat dan aturan-aturan yang hanya bersifat pokok dalam UUD 1945, semula diharapkan akan mempermudah praktik penyelenggaraan pemerintahan negara melalui pengaturan undang-undang. Namun, pada sisi lain ternyata mudah disimpangi sesuai selera penyelenggara negara sehingga terjadilah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Dampaknya telah menyengsarakan rakyat dan merusak etika, moral dan semangat para penyelenggara negara dan seluruh rakyat Indonesia,” ucap pria asal Tabanan ini.
Meskipun mengalami berbagai perubahan, untuk mencapai suatu tujuan negara modern secara konstitusi masih memerlukan berbagai perbaikan kembali untuk mencapai suatu kesempurnaan sistem pemerintahan baik secara konseptual maupun secara praktek ketatanegaraan.
Suparta kemudian mengutip pernyataan Adnan Buyung Nasution, bahwa mensistematisasikan kelemahan-kelemahan tersebut menjadi dua jenis, yaitu kelemahan konseptual dan kelemahan dari segi konstruksi hukumnya. Kelemahan dari segi konseptual diantaranya adalah konsep negara yang dipersepsikan oleh UUD NRI Tahun 1945 yaitu konsep negara integralistik. Sementara kelemahan dari segi konstruksi hukumnya adalah kesederhanaan UUD NRI Tahun1945.
Dengan adanya kesederhanaan ini, kata Suparta, pelaksanaan dari UUD NRI Tahun 1945 diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Kondisi ini membuka peluang akan terjadinya penyelewengan-penyelewengan oleh pembuat undang-undang, sebagaimana yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru.
Ia pun menyimpulkan bahwa bentuk kekuasaan pemerintahan negara berdasarkan tipe konstitusi memiliki ciri-ciri bentuk pemerintahan yang otokrasi yaitu konsentrasi kekuasaan (concentration of power) atau pemusatan kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi dan undang-undang.
“Sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil dengan pertangggungjawaban pada konstitusi. Bentuk ideal sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem pemerintahan Presidensil Konstitusional yang berfalsafah Pancasila,” sebutnya.
Untuk itu, Ia menyarankan secara konseptual atau teoritis kewenangan lembaga-lembaga negara dalam sistem pemerintahan yang diterapkan berdasarkan UUD NRI TAHUN 1945 diperlukan kembali upaya penyempurnaan, agar secara konsepsional dapat berjalan secara ideal. (red)