Badung (Penabali.com) – Indonesia mendapat kepercayaan dunia menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan parlemen tibgkat dunia, Sidang IPU (Inter-Parliamentary Union) ke-144 di Nusa Dua, Kabupaten Badung. Sidang IPU yang akan dihadiri 155 negara itu, membahas isu utama yakni perubahan iklim.
Menanggapi tema penting tersebut, pada Minggu (20/03/2022) malam, Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Putu Supadma Rudana (PSR), mengungkapkan kearifan lokal perayaan Hari Nyepi di Bali merupakan salah satu solusi untuk menjawab dalam menghadapi tantangan global menyangkut perubahan iklim. Menurutnya, kearifan lokal ini akan digaungkan dalam Sidang IPU ke-144
Di Bali, kata dia, sebetulnya memiliki kearifan lokal yang bisa memberikan kontribusi atau menjawab tantangan global untuk menghadapi isu climate change yang berhubungan dengan lingkungan. Sebab, Bali memiliki filosofi Tri Hita Karana yakni hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Pencipta.
“Konsep Tri Hita Karana yang berhubungan dengan Hari Nyepi, bahwa itu korelasinya ke earth hour. Kalau itu (earth hour) kan hanya jam saja. Kalau Hari Nyepi di Bali kan 24 jam, artinya itu suatu gagasan yang luar biasa,” kata Supadma Rudana di Nusa Dua.
Selain itu, lanjut Anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrat Dapil Bali itu, ada lagi kearifan lokal yang berhubungan dengan alam yakni subak. Menurut Supadma Rudana, jika dibandingkan dengan nuklir yang berbahaya itu energi yang tidak sustainable. Sedangkan, subak itu air mengalir dari gunung ke laut melalui sungai atau sawah justru sangat sustainable karena bersinergi dengan alam.
“Nah, filosofi-filosofi ini kearifan lokal tentu sudah kita suarakan dan disini akan kita tunjukkan kepada mereka, bahwa ini sebetulnya bisa memberikan kontribusi atau menjawab tantangan global untuk menghadapi isu climate change yang berhubungan dengan lingkungan,” jelasnya.
Tentu, lanjut Supadma Rudana, perlu juga digali kearifan lokal dari negara-negara lain atau daerah lain untuk disatukan sebagai solusi menghadapi tantangan global terhadap perubahan iklim. Memang, sebetulnya sudah ada, tapi sekarang bagaimana menggerakkan semua pihak agar berkomitmen sama-sama melaksanakannya.
“Bagaimana rakyat, negara atau pemerintah dan parlemen untuk turun langsung berkontribusi mengawal isu perubahan iklim yang menjadi tantangan kedepan. Sekarang isu perubahan iklim memang isu yang nyata dan betul-betul kritis, serta memberikan dampak begitu besar terhadap kehidupan manusia,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan tantangan yang dihadapi global kedepan tidak semakin mudah tetapi makin sulit. Menurut dia, ada sebuah tantangan yang paling berbahaya jika tidak dilakukan bagi parlemen seluruh dunia yaitu perubahan iklim.
“Jangan melupakan bahwa kita menghadapi sebuah hal yang mengerikan kalau kita tidak berani memobilisasi kebijakan-kebijakan, baik di parlemen baik maupun pemerintah yaitu perubahan iklim,” kata Jokowi.
Ia mengatakan perubahan iklim sering dibicarakan dan diputuskan dalam pertemuan global, tapi aksi lapangannya belum kelihatan. Misalnya, transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT), dari energi batu bara ke renewable energy.
“Kelihatannya mudah, tapi praktiknya sesuatu yang sulit di lapangan utamanya bagi negara berkembang,” jelas dia.
Sehingga, kata dia, hal yang perlu dibicarakan adalah pendanaan iklim harus segera diselesaikan. Kedua investasi dalam energi baru terbarukan, dan ketiga transfer teknologi.
“Kalau ini tidak riil dilakukan, sampai kapan pun saya pesimis yang namanya perubahan iklim betul-betul tidak dapat kita cegah. Kalau itu hanya kita bicarakan dari tahun ke tahun dan tidak ada keputusan, saya pesimis bahwa namanya perubahan iklim tidak bisa kita cegah sama sekali,” tutupnya. (rls)