Badung (Penabali.com) – Pemerhati pariwisata yang juga akademisi, Prof. Dr. Nengah Dasi Astawa, M.Si., menyoroti dinamika pengelolaan pariwisata di Bali yang dinilainya belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip keadilan dan keberlanjutan. Menurutnya, arah kebijakan yang cenderung mengedepankan konsep Quality Tourism dan Mass Tourism kerap terkesan kapitalistik karena lebih mengutamakan wisatawan berdaya beli tinggi.
Dalam pertemuan bersama pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Badung di Elemento Homestay, Kecamatan Abiansemal, Sabtu (5/4), Prof. Dasi Astawa menekankan perlunya transformasi menuju model Pariwisata Inklusif Berkelanjutan. Konsep ini, menurutnya, harus membuka akses yang setara bagi semua kalangan, tanpa mengabaikan aspek kelestarian lingkungan dan kenyamanan masyarakat lokal.
“Pariwisata yang ideal harus ramah terhadap semua makhluk hidup dan memberikan manfaat yang adil, baik bagi wisatawan maupun masyarakat lokal,” ujarnya.
Dalam konteks Bali, ia menilai fenomena meningkatnya wisatawan yang lebih memilih menginap di homestay atau vila milik warga lokal ketimbang hotel berbintang adalah sebuah peluang. Namun, hal ini perlu diimbangi dengan penerapan aturan yang jelas, guna menjamin kenyamanan, keamanan, dan ketertiban bersama.
“Jika wisatawan menginap di rumah warga tapi tertib dan mengikuti aturan, itu bagus. Justru ini memberi dampak langsung kepada masyarakat,” tambah Direktur Politeknik El Bajo Commodus, NTT tersebut.
Prof. Dasi juga mengingatkan bahwa pengembangan pariwisata Bali sebaiknya didasarkan pada tiga pilar utama: destinasi wisata (darat, laut, dan udara termasuk desa wisata), sektor akomodasi dan pendukungnya (hotel, restoran, perbankan, transportasi, dan lainnya), serta infrastruktur dasar yang merupakan tanggung jawab pemerintah.
“Infrastruktur seperti jalan, air, listrik, komunikasi, sanitasi hingga layanan kesehatan dan pendidikan adalah fondasi penting. Tanpa itu, mustahil pariwisata bisa berkembang secara merata dan berkelanjutan,” katanya.
Dalam pandangannya, apabila pariwisata hanya diarahkan untuk kalangan wisatawan kelas atas yang bertransaksi di ruang-ruang eksklusif, maka masyarakat lokal tidak akan mendapatkan bagian yang seimbang dari “kue” pariwisata. Oleh karena itu, menurutnya, dukungan terhadap penginapan lokal seperti homestay dan vila milik warga menjadi penting.
Lebih lanjut, Prof. Dasi menyinggung pentingnya ketegasan dalam penegakan regulasi. Ia menilai lemahnya eksekusi aturan dan minimnya pengawasan menjadi akar dari berbagai pelanggaran di sektor pariwisata.
“Tidak bisa hanya membuat aturan tanpa ada yang menjalankannya. Pelanggaran yang terjadi bukan kesalahan wisatawan, tapi karena tidak ada eksekutor yang tegas,” tegasnya.
Ia mencontohkan praktik di luar negeri seperti Thailand dan Singapura, di mana aturan ditegakkan dengan konsisten sehingga masyarakat dan wisatawan bisa hidup berdampingan secara tertib.
Terakhir, ia menegaskan bahwa penerapan Inklusive Tourism harus dibarengi dengan perbaikan menyeluruh pada infrastruktur dasar dan sistem pengelolaan lingkungan.
“Jika kita ingin pariwisata tetap lestari dan memberi manfaat untuk semua, maka kita harus perhatikan aspek sanitasi, ekologi, hingga konektivitas seperti akses internet. Regulasi harus dijalankan, bukan sekadar dibuat,” tutupnya. (ika)