Denpasar (Penabali.com) – Utah State University, Logan, Utah Department Head – History, Religious Studies, and Classics, Prof. Ravi M. Gupta, mengharapkan adanya pemahaman dan saling menghormati perbedaan pandangan terhadap Vedanta dalam Hinduisme itu sendiri.
Ada enam pandangan tentang kebenaran (Sad Dharsana) dalam mengerti filsafat Hindu yakni Nyaya Darsana, Vaisesika Darsana, Samkhya Darsana, Yoga Darsana, Mimamsa Darsana dan Vedanta Darsana.
Dari enam filsafat India purba tersebut, Vedanta merupakan bagian yang terakhir dan utama, dimana ajaran ini paling mendominasi dalam kurun 1.500 tahun terakhir.
Vedanta mengandung banyak sub-tradisi berdasarkan pustaka (literatur) Vedanta yaitu Upanisad, Brahmasutra dan Bhagavadgita, ketiganya disebut Prasthanatrayi (tiga jalan besar).
Tokoh-tokoh besar penyebar ajaran Vedanta adalah Sankaracharya, Ramanujacharya, Madhavacharya, Nimbarka, Vallaba, dan Sri Chaitanya.
“Vedanta bersumber dari kitab utama yakni Upanisad, Bhagavadgita dan Vedanta Sutra (Brahma Sutra),” kata Ravi Gupta melalui zoom virtual seminar, Minggu (5/9/2021).
Hal itu disampaikan ketika menjadi narasumber hari kedua webinar “Global Seminar on Hinduism” yang dipandu Departemen Hubungan Internasional DPP Prajaniti Hindu Indonesia, Yadu Nandana.
Kegiatan tersebut diselenggarakan International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) Global dan Perkumpulan ISKCON Indonesia bersama Utah State University (USA) yang berlangsung selama dua hari mulai dari tanggal 4 – 5 September 2021, dengan topik “Kitab Suci Agama Hindu dengan Berbagai Filsafat dan Tradisi Masing-Masing serta Ajaran Vaishnava dalam Hindu & Teologi Gaudya Vaishnava”.
Ditegaskan kembali, di antara enam dharsana tersebut, Vedanta adalah yang paling utama dalam kurun 1.500 tahun terakhir dimana kisah perjalanan Vedanta ini diwarnai dengan banyak argumentasi dan perdebatan.
Para pengajar vedanta sudah berkelana ke seluruh India untuk menyampaikan dan melakukan perdebatan, dimana debat-debat itu sangat hidup dan sangat menarik.
“Ketika muda, saya yang dididik sebagai filosof juga menyukai perdebatan, karena debat-debat itu menjadi hal yang menyenangkan dan menarik bagi saya. Perbedaan itu menyenangkan dalam menajamkan pikiran namun jangan berdebat berdasarkan kemarahan dan niat buruk itu tidak baik, walau berdebat tetap menggunakan spirit menyenangkan. Bila berdebat dengan semangat pikiran yang baik atau cinta, seperti halnya berkelahi atau bergulat dengan menyenangkan maka akan menghasilkan bentuk tubuh yang lebih kuat dan sehat,” ungkap Prof. Ravi Gupta yang juga sebagai Utah State University, Logan, Utah Charles Redd Endowed Chair and Professor of Religious Studies.
Dijelaskan pula bahwa dalam perdebatan Vedanta, ada dua cabang filsafat utama yang diperdebatkan yakni advaita vedanta (non-dual atau monistik)/impersonalis dan dvaita/vaishnava (dualistik) atau personalis.
Masing-masing pihak memiliki pandangan yang berbeda atas topik yang sama. Secara umum ada empat pertanyaan utama yang dibahas dalam Vedanta, yakni (1) siapa itu Tuhan (Brahman), (2) siapa kita atau diri sendiri (Atman), (3) bagaimana kedudukan alam semesta, dan (4) bagaimana mencapai pembebasan.
Bagi penganut Advaita Vedanta, (1) Brahman dipahami sebagai tidak berwujud, sedangkan bagi penganut Vaisnava Vedanta (khususnya Brahma Madhva Gaudiya Vaisnava), Brahman dipahami sebagai yang berwujud dan sekaligus yang tidak berwujud. (2) keyakinan/sraddha terhadap atman, para pengikut Advaita Vedanta berpandangan bahwa atman adalah sama dengan Brahman, sedangkan bagi pengikut Brahma Madva Gaudiya Vaisnava, atman dipahami sama sekaligus berbeda dengan Brahman.
Sama dalam hal kualitas (sama-sama unsur Ketuhanan) tetapi berbeda dalam hal kuantitas, dimana atman/jiwa sangat kecil (percikan) dan memiliki kebebasan yang terbatas. (3) dalam hal keyakinan/ sraddha tentang moksa, Advaita Vedanta dan Vaisnava Vedanta sepakat tentang adanya pembebasan (moksa). Akan tetapi, Advaita Vedanta memandang moksa adalah penyatuan (atman manunggal dengan sumbernya), tanpa identitas individual, sedangkan Brahma Madhva Gaudiya Vaisnava memandang bahwa atman/jiva tetap bersifat individual sehingga ketika sampai pada tahap pembebasan Atman tetap tidak kehilangan identitas pribadinya.
Saat menjelaskan tentang paham filsafat dvaita, Prof Gupta menjelaskan lebih lanjut tentang filsafat Vaisnava dengan beberapa cabangnya salah satunya adalah Brahma Gaudiya Vaisnawa yang diperkenalkan oleh Sri Chaitanya Mahaprabhu. Gerakan sankirtan yang diajarkan Beliau merupakan penerapan prinsip bhakti dari nilai-nilai Vaisnawa. Landasan filsafatnya mengambil terutama dari kitab Bhagawadgita dan Bhagawatapurana, dan juga kitab Purana lainnya serta Upanishad, misalnya Isha Upanishad, Gopala Tapani Upanishad, dan Kali Santarana Upanishad.
Gerakan tersebut dibawa oleh Sri Caitanya Mahaprabhu yang menerima ajaran dari Acharya besar filsafat dvaita yaitu Sri Ramanuja dan Sri Madhvacarya, dimana pada saat yang sama Mahaprabhu mengakui aspek-aspek penting tertentu dari tattva yang ada di tiga sampradaya Vaisnava lainnya (Sri Sampradaya, Madhva Sampradaya dan Rudra Sampradaya) dengan menyatukan esensi ajaran-ajaran ketiganya dalam kesempurnaan yang disebut Prema Dharma.
Sri Caitanya mengajarkan esensi-esensi penting dari tiga sampradaya melalui pengucapan nama suci Tuhan. Dia mengajarkan bahwa nama suci Tuhan adalah inkarnasi Tuhan dalam bentuk getaran vibrasi suci. Tuhan adalah keseluruhan yang mutlak, maka tidak ada perbedaan antara Dia, nama suci-Nya dan bentuk transendental-Nya. Jadi, dengan mengucapkan nama suci Tuhan, seseorang dapat secara langsung berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui getaran suara.
Saat seseorang mempraktekkan meditasi melalui pengucapan getaran suara ini, ia melewati tiga tahap perkembangan yaitu tahap ofensif, tahap pembersihan, dan tahap murni. Pada tahap ofensif seseorang mungkin menginginkan semua jenis kebahagiaan materi, tetapi pada tahap kedua ia menjadi bersih dari semua pencemaran materi.
Ketika seseorang mantap pada tingkat rohani, maka seseorang telah mencapai posisi yang paling tinggi tahap mencintai Tuhan secara murni. Sri Caitanya mengajarkan bahwa ini adalah tingkat kesempurnaan tertinggi bagi manusia.
Dengan adanya beberapa perbedaaan perspektif dalam melihat kebenaran mutlak (sebagai obyek yang sama) Prof Gupta menyatakan jika perbedaan kembali dibahas maka perdebatan itu tidak akan pernah berakhir.
“Yang paling penting adalah memilih dan memutuskan untuk menjalankan secara baik dengan penuh keyakinan pilihan tersebut dan pada saat yang sama menghormati yang lain,” ujarnya.
Dengan demikian ia mengharapkan akan ada kerjasama yang baik dalam membangun kemajuan kehidupan umat di dalam Hinduisme.
“Inilah maknanya toleransi, setia pada jalan sendiri dan menghormati orang lain,” tandasnya.
Menekuni keyakinan dengan khusyuk dan menghormati perbedaan akan memberikan transformasi nyata terhadap perubahan karakter setiap individu sehingga memberikan kontribusi positif terhadap hasil pembangunan bangsa. Inilah salah satu tujuan program pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama yang mencanangkan Tahun Toleransi pada 2022 dan melakukan moderasi beragama, agar tercapai kehidupan masyarakat Indonesia yang makmur sejahtera baik secara jasmani maupun rohani. (rls)