Categories Berita Denpasar

Proyek Terminal LNG Babat 7 Hektar Mangrove, Direktur WALHI Bali: 6 Pura Terancam Abrasi

Denpasar (Penabali.com) – Masyarakat Desa Adat Intaran bersama Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL) Bali, Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (FRONTIER) Bali dan WALHI melakukan aksi budaya dari parkir timur Niti Mandala Denpasar menuju Gedung DPRD Bali, Selasa (21/6/2022).

Aksi ini merupakan bentuk penolakan pembangunan proyek Terminal LNG di kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai. Aksi ini juga menolak peninjauan kembali dan/atau revisi Perda RTRWP Bali yang digunakan untuk melegalisasi proyek terminal LNG di kawasan mangrove.

Saat tiba di depan Gedung DPRD Bali, kepolisian menghadang peserta aksi dan tidak memberikan izin untuk memasuki halaman Gedung DPRD Bali dengan alasan anggota dewan tidak mengijinkan dan hanya 100 orang yang boleh masuk. Mendengar hal tersebut, massa aksi mengajukan protes dan terjadi debat alot. Saat peserta aksi menunjukkan bukti surat pemberitahuan yang sudah dikirimkan ke pihak kepolisian dan menunjukkan tanda terima surat pemberitahuan yang sudah ditandatangani pihak kepolisian, peserta aksi masih dihadang dan tidak diberikan masuk. Akhirnya, salah satu staf dari DPRD Bali membuka pintu, massa aksi berhasil masuk ke Gedung DPRD Bali dan diarahkan menuju wantilan DPRD Bali untuk berdialog dengan para wakil rakyat.

Bendesa Adat Intaran, I Gusti Alit Kencana, menegaskan proyek pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove tersebut mengancam perairan Sanur. Sebab, proyek tersebut berpotensi merusak mangrove dan terumbu karang. Lebih lanjut, Bendesa Adat Intaran juga menyampaikan semestinya mangrove dan terumbu karang dijaga, bukan malah dirusak dengan pembangunan Terminal LNG.

”Harusnya perairan Sanur dijaga” tegas Bendesa Adat Intaran.

Direktur WALHI Bali, Made Krisna “Bokis” Dinata, menjelaskan bahwa dari hasil riset yang dilakukan KEKAL, FRONTIER dan WALHI, ditemukan fakta bahwa pembangunan Terminal LNG di kawasan mangrove paling sedikit membabat mangrove seluas 7,73 hektar dan merusak terumbu karang seluas 5,75 hektar. Dampak dari rusaknya mangrove dan terumbu karang adalah abrasi yang berpotensi mengancam eksistensi 6 tempat suci di Sanur, diantaranya 1) Pura Dalem Pangembak, 2) Pura Campuhan Dalem Pangembak, 3) Pura Sukamerta, 4) Pura Kayu Menengan, 5) Pura Mertasari, dan 6) Pura Tirta Empul Mertasari.

“Itu adalah hasil riset yang kami lakukan dengan metode ilmiah,” jelas Bokis.

Ketua KEKAL Bali, I Wayan “Gendo” Suardana, menegaskan bahwa adanya upaya percepatan revisi Perda RTRWP Bali dengan dasar UU Cipta Kerja, setelah tim dari KEKAL, FRONTIER dan WALHI mempelajari UU Cipta Kerja, tidak ada ketentuan yang mengatur percepatan tersebut. Sehingga perubahan Perda, dalam hal ini Perda RTRWP Bali harus mengacu pada ketentuan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam proses perubahan Perda harus memenuhi asas keterbukaan, ada hearing dan partisipasi publik.

“Tidak ada ketentuan yang mengatur sampai dipercepat 10 hari,” tegas Gendo.

Sementara Ketua komisi III DPRD Bali, A.A. Adhi Ardhana, yang hadir dalam dialog tersebut, menyampaikan bahwa apa yang dilakukan DPRD Bali dalam membentuk Pansus pembahasan RTRW merupakan proses harmonisasi atau pengintegrasian antara RTRW Bali dan RZWP3K.

“Hal ini dilakukan atas dasar mandat Undang-Undang Cipta Kerja,” ucapnya.

Atas penyampaian dari A.A. Adhi Ardhana, Pembina KEKAL Bali menanyakan dasar hukum apa yang digunakan DPRD Bali untuk melakukan harmonisasi atau pengintegrasian. Karena khusus untuk terminal LNG, pada Ranperda RTRWP Bali memasukkan Terminal LNG di Sidakarya, yang diatur dalam Pasal 26 ayat (3) huruf f yang mana peraturan tersebut merupakan materi baru, karena Perda RTRWP Bali revisi terakhir yang berlaku saat ini mengatur lokasi Terminal LNG adalah di Pelabuhan Benoa.

Atas hal tersebut, Gendo langsung membantah argumentasi A.A Adhi Ardhana dan dengan tegas menyatakan bahwa perubahan yang dilakukan DPRD Bali terhadap Perda RTRWP Bali murni revisi.

“Ini (perubahan Ranperda RTRWP Bali, red) revisi karena memasukkan muatan baru Terminal LNG Sidakarya,” sebut Gendo.

Lebih lanjut, Gendo juga menjelaskan terhdap Revisi Perda RTRWP Bali, dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang wilayah provinsi dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang. Artinya revisi tata ruang tidak boleh dilakukan untuk mengakomodir izin suatu proyek.

”Itu (Perubahan Ranperda RTRWP Bali untuk mengakomodir izin suatu proyek, red) tidak boleh, saya siap berdebat,” tegasnya.

Lebih jauh, Gendo juga menjelaskan bahwa rencana pembangunan Terminal LNG Sidakarya ini berawal dari MoU antara Gubernur Bali dengan PLN pada 21 Agustus 2019. Selanjutnya dalam MoU tersebut kewajiban Gubernur adalah menyediakan lahan untuk Terminal LNG dan menunjuk perusahaan daerah (Perusda) untuk membuat perusahaan untuk mengurus Terminal LNG. Setelah Gubernur Bali menunjuk Perusda dibentuk PT Dewata Energi Bersih (PT DEB) untuk melakukan joint feasibility study dengan Indonesia Power pada tahun 2021. Di tahun 2021 juga UPTD KPHK Tahura Ngurah Rai juga mengubah area proyek Terminal LNG yang awalnya blok perlindungan menjadi blok khusus dan DPRD Bali ingin mengubah Perda RTRWP Bali untuk mengakomodir Terminal LNG, karena pada 21 April 2021 Gubernur Bali sudah menerbitkan izin prinsip.

“Kok duluan izinnya yang keluar sedangkan tata ruang untuk Terminal LNG di mangrove tidak ada? Izin prinsip Gubernur sudah melanggar tata ruang Provinsi Bali,” sebut Gendo.

Menurut Gendo, jika yang digunakan dasar oleh Gubernur Bali adalah Perda RTRWK Denpasar, maka mesti kembali merujuk UU Tata Ruang disusun berjenjang dan komplementer, yang mana dalam penyusunannya tidak boleh bottom up, melainkan harus disusun secara top down.

Atas semua yang disampaikan Gendo, ia berpendapat bahwa argumentasi yang digunakan oleh Pansus untuk merevisi Perda RTRW patah, sehingga Gendo menegaskan Pansus Revisi Perda RTRWP dibubarkan saja.

“Pansus dibubarkan saja,” tegas Gendo. (rls)