Singaraja (Penabali.com) – Tradisi menulis lontar, sebuah warisan budaya yang telah mengakar di Bali, kini semakin terasa asing di kalangan generasi muda. Di tengah derasnya arus era digital, kebiasaan ini mulai tergeser oleh teknologi. Untuk menjaga kelestarian tradisi ini, Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui UPTD Gedong Kirtya mengadakan pelatihan menulis lontar bagi siswa-siswa SMP di Kecamatan Seririt. Pelatihan bertajuk *”Belajar Bersama di Museum Gedong Kirtya”* ini diikuti oleh 360 siswa dari berbagai SMP di Seririt dan berlangsung di Puri Seni Sasana Budaya, pada 10-12 September 2024.
Selama tiga hari, siswa-siswa dari SMP Negeri 1, 2, 3, dan 4 Seririt mengikuti pelatihan intensif tentang cara menulis aksara Bali di atas daun lontar. Setiap harinya, sebanyak 120 siswa turut serta mempelajari teknik menulis yang penuh makna budaya ini. Mereka tidak hanya diajarkan teori, tetapi juga diberi kesempatan untuk mempraktikkan secara langsung penulisan di atas lontar, sebuah pengalaman yang berbeda dari menulis di atas kertas.
Kepala UPTD Gedong Kirtya, Dewa Ayu Putu Susilawati, menjelaskan bahwa tujuan dari pelatihan ini adalah untuk memperkenalkan kembali tradisi menulis lontar kepada generasi muda. Ia berharap lebih banyak siswa yang tertarik dan menguasai teknik ini, sehingga kekayaan budaya Bali tetap terjaga dari gempuran modernisasi.
“Di era digital seperti sekarang, banyak tradisi mulai terlupakan, termasuk menulis di daun lontar. Harapan kami, melalui pelatihan ini, para siswa dapat memahami dan menghargai kekayaan budaya kita. Semoga semakin banyak anak muda yang mahir menulis lontar, sehingga tradisi ini tetap lestari dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya,” ungkapnya.
Antusiasme para siswa dalam mengikuti pelatihan ini sangat terlihat, terutama bagi mereka yang baru pertama kali menulis di atas daun lontar. I Ketut Andika Weda Suardipa, siswa kelas VII dari SMP Negeri 1 Seririt, mengungkapkan bahwa meskipun merasa gugup, ia sangat senang bisa mendapatkan pengalaman berharga ini. “Senang sekali bisa belajar menulis lontar. Ini pengalaman pertama saya, jadi sedikit deg-degan karena takut salah. Menulis di lontar itu lebih sulit daripada di kertas, tapi saya berharap bisa terus belajar untuk menambah ilmu,” ujarnya.
Hal yang sama disampaikan oleh Ketut Suartawan, siswa kelas VII dari SMP Negeri 3 Seririt. Ia mengaku bahwa menulis di atas lontar jauh lebih sulit dibandingkan menulis di atas kertas, namun pengalaman ini membuatnya semakin menghargai budaya Bali. “Rasanya gugup dan takut salah, tapi ini pengalaman yang sangat berharga. Saya jadi lebih menghargai tradisi kita,” katanya.
Dengan diadakannya kegiatan ini, diharapkan tradisi menulis lontar di Bali tidak hanya sekadar dikenal, tetapi juga bisa terus dilestarikan dan diterapkan oleh generasi muda.(uka)