Categories Badung Hukum

Restitusi Korban, LPSK Kebut Peraturan Pemerintah Soal Ganti Rugi

Badung (Penabali.com) – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Dr. Livia Istania DF Iskandar, M.Sc., Psi., LPSK mengadakan kegiatan sosialisasi kewenangan LPSK dalam kerangka UU No.12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sangat penting dilakukan untuk menyamakan persepsi antara penegak hukum atas keluarnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana.

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

“Selama ini di UU 31 2014 baru (restitusi, red) untuk korban pelanggaran HAM dan terorisme, untuk yang terorisme sudah kita eksekusi lebih dari 600 korban terorisme dengan jumlah lebih dari 100 miliar,” ujar Dr. Livia disela acara sosialisasi bertempat Swiss-Belhotel Rainforest, Kuta, Badung, Kamis (25/5/2023).

Dr. Livia mengatakan tentang dana bantuan korban itu bahwa restitusi kurang bayar bisa dibayarkan oleh negara dimana rancangan peraturan pemerintah saat ini sedang digodok. LPSK punya waktu dua tahun setelah UU No.12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, disahkan.

“Karena sedang didorong banyak pihak kalau bisa akhir tahun selesai dengan rancangan aturan pemerintah tentang dana korban ini,” terangnya.

Ia menambahkan, penghitungan restitusi ini bisa berbeda-beda apa yang dianggap sebagai kehilangan oleh saksi ataupun korban. Dr. Livia menjelaskan, sebagai contoh orang tua korban sebagai buruh bangunan yang pendapatannya harian, harus bolak balik ke kantor polisi sehingga orang tua korban tersebut harus kehilangan penghasilannya.

“Dihitung misalnya 100 ribu per hari, hitung saja berapa kali dia kehilangan pendapatan,” katanya.

Dr. Livia berharap, Perma No.1 Tahun 2022, para hakim bisa memutuskan dalam amar putusannya apa yang sudah masuk dalam tuntutan jaksa untuk amar putusan dan lanjut dieksekusi atau dibayarkan setelah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

“Ada korban tidak mau mengajukan ganti rugi karena merasa kita tidak mau uang dari pelaku tapi yang penting korban sudah diberitahu haknya, kalau tidak mau melanjutkan proses penilaian restitusi itu sepenuhnya jadi hak korban untuk menentukan,” pungkasnya. (red)