Denpasar (Penabali.com) – Sidang praperadilan penetapan status tersangka Rektor Unud, Prof. I Nyoman Gde Antara terkait dugaan kasus korupsi SPI Unud kembali digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (27/4/2023). Pada sidang kali ini, agendanya penyampaian duplik dari Termohon yakni pihak Kejaksaan Tinggi Bali.
Dipimpin hakim tunggal, Agus Akhyudi, sidang praperadilan kali ini mendengarkan keterangan saksi fakta dan saksi ahli.
Saksi Fakta, Muhammad Adi Khairul Anshary, S.H., M.T., dari Universitas Siliwangi menjelaskan secara umum terkait jalur penerimaan mahasiswa baru dan SPI. Ia mengatakan, dalam penerimaan mahasiswa baru, calon mahasiswa yang mendaftar akan membuat akun sendiri dan semua dilakukan online. Bahwa penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri, yang membayar SPI merupakan mahasiswa yang dinyatakan lulus dan mulai registrasi.
“Pembayarannya melalui sistem dan setelah pembayaran SPI maka ia akan mendapat nomor induk mahasiswa. Pembayaran SPI ini dilakukan pada saat registrasi. Sementara terkait SPI, dananya semuanya masuk ke satu rekening dan tidak bisa diambil sembarangan,” jelas Adi yang juga Kepala UPT Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Untuk keterangan saksi ahli dihadirkan 4 orang. Yakni Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang (Ahli Hukum Keuangan Negara dari Universitas Indonesia), Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., (Ahli Hukum Administrasi UGM), Dr. Mahrus Ali, S.H., M.Kn., (Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia), dan terakhir, saksi ahli Dr. Dewa Gede Palguna (Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana).
Dari keterangan ke-4 saksi ahli tersebut, kompak menyebut hanya audit BPK yang memiliki kewenangan menyatakan ada kerugian keuangan negara, bukan penyidik.
“Saya posisinya disini untuk menjelaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016 yang disana dikatakan bahwa kata dapat merugikan keuangan negara itu sudah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi karena itu harus diartikan bahwa kerugian itu bukan lagi bersifat perkiraan tetapi harus pasti jumlahnya dan yang menghitung itu instansi yang berwenang melalui BPK atau akuntan publik yang ditunjuk,” jelas Dewa Palguna saat ditemui awak media usai persidangan.
Dijelaskan, bahwa berbeda halnya dengan sebelum diundangkannya UU Administrasi Pemerintahan, tahun 2006 putusan Mahkamah Konstitusi itu masih memungkinkan orang didakwa dengan tuduhan korupsi kalau ada potensi kerugian keuangan negara atau potential lost. Setelah tahun 2016 lewat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 konstruksi itu tidak lagi dipakai karena sudah bergeser karena lahir UU Administrasi Pemerintahan disesuaikan juga dengan UU Pembendaharaan Negara ada juga UU BPK dan yang terakhir Indonesia kemudian meratifikasi International Convention Against Corruption.
“Dengan penyesuaian itu semua, maka kerugian negara itu tidak boleh lagi dikira-kira tapi harus sudah bersifat pasti jumlahnya. Saya hanya bisa mengatakan secara umum dan teoritik kalau belum ada hitung-hitungan berapa sesungguhnya negara dirugikan secara pasti ya belum bisa dikatakan ada tindak pidana korupsi karena itu sebagai unsur yang melekat disebutkan disana,” terang Dewa Palguna, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi.
Salah satu Tim Hukum Unud, Nyoman Sukandia, S.H., menyatakan penetapan tersangka Rektor Unud Prof. Antara oleh pihak kejaksaan, tidak sah. Alasannya, karena alat bukti hasil audit tidak jelas dan para saksi juga tidak ada yang menyebutkan kerugian negara.
“Sampai sejauh ini dari saksi-saksi yang sudah kami ajukan terkait terhadap kewenangan untuk mengaudit sudah ditegaskan juga sama Mahkamah Konstitusi bahwa BPK itu satu pintu walaupun ada audit-audit lain tapi tetap berkoordinasi dengan BPK,” pungkas Sukandia. (red)