(Penabali.com) – Tahun 2022 merupakan tahun ke-14 wabah penyakit rabies di Bali yang dahulunya merupakan daerah bebas rabies, sejak tahun 2008 telah tercatat sebagai daerah tertular rabies.
Di tahun 2022 sampai tanggal 28 April kasus anjing positif rabies berjumlah 210 ekor dengan penyebaran di 129 desa. Hal tersebut disampaikan Anak Agung Istri Inten Wiradewi S.Pt., M.Si., selaku Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali pada acara sarasehan yang bertemakan “Mencari Solusi Penanganan Wabah Rabies di Bali”, Rabu (29/5/2022).
Kegiatan yang digagas Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Bali bekerjasama dengan Rumah Sakit Hewan Pendidikan Udayana dan Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP), dilaksanakan serangkaian perayaan World Veterinary Day 2022.
Dalam sambutan pembukaan, Direktur Rumah Sakit Pendidikan Udayana, yang juga Ketua PDHI Cabang Bali, Prof. I Ketut Puja, menyampaikan bahwa masalah rabies adalah masalah serius. Tidak hanya serius pada anjing tetapi juga pada manusia. Di tahun 2022, kasus pada manusia sudah mencapai 5 orang. Kasus positif pada anjing makin meningkat di bulan April tahun 2022 bahkan tercatat sebagai kasus tertinggi di bulan yang sama yang tercatat pada tahun 2015.
Pemerintah telah menerapkan berbagai strategi pengendalian namun sampai sekarang belum nampak hasil yang signifikan. Karena itu, melalui saresehan ini diharapkan ada terobosan baru yang dapat direkomendasikan pada Pemerintah Daerah Bali dalam rangka mewujudkan Bali Bebas Rabies tahun 2030.
Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali menyampaikan kesulitan dalam pemberantasan rabies di Bali sampai saat ini karena tidak dapat divaksinasinnya seluruh populasi anjing di Bali. Hal ini disebabkan populasi anjing di Bali lebih dari 61% hidupnya diliarkan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kesadaran masyarakat terutama dalam pemeliharaan anjing yang bertanggung jawab masih rendah. Sehingga cakupan vaksinasi tidak bisa dilakukan secara total, belum bisa mencapai herd imunity lebih dari 70%.
Menurut Drh. Joko Daryono dari Australia Indonesia Health Security Partnership (AIHSP) menyampaikan bahwa prinsip dasar dari pengendalian penyakit yang efektif adalah perencanaan dengan rencana yang adaptif, kendalikan penyakit, batasai penyebarannya dengan menggunakan pendekatan SMART (specific, measurable, Achieveble, Relecant , timebound). Dan yang tidak kalah pentingnya, adalah dukungan masyarakat pada setiap tingkatan.
Drh. Joko juga menyampaikan harapan baru untuk meningkatkan cakupan vaksinasi yaitu melalui vaksin oral. Vaksin oral bisa dipertimbngkan kedepannya sebagai salah satu alternatif vaksinasi untuk rabies. Hal ini disampaikan mengingat metode oral vaksinasi ini telah terbukti diaplikasikan di berbagai negara.
Pada akhir saresehan, direkomendasikan bahwa untuk memberantas rabies di bali dapat dilakukan melalui pendekatan kegiatan berbasis desa dinas atau desa adat. Melalui pembentukan kader sadar rabies di masing-masing banjar, pembuatan pararem atau peraturan desa berkaitan dengan pemberantasan rabies. Dengan pendekatan ini diharapkan mampu menangani seluruh populasi anjing yang ada secara berkelanjutan.
Disamping itu, perlu dipertimbangkan pencabutan status wabah penyakit rabies agar vaksinasi anti-rabies pada manusia bisa berbayar. Dengan berbayar ini diharapkan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan penyakit menjadi lebih tinggi. (rls)