Sikapi Polemik PPDB 2019, Ketut Leo Sarankan Pemprov Bangun Sentral Pendidikan Atasi Sistem Zonasi

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 menimbulkan kegaduhan. Tak hanya di tingkat SMP, polemik PPDB juga terjadi di tingkat SMA. Permasalahan ini lantas mengundang keprihatinan dari banyak pihak termasuk orang tua. Salah seorang tokoh masyarakat Nuda Penida, Ketut Leo, bahkan tak mampu menyembunyikan kekecewaannya terhadap sistem PPDB tahun ini.

“Dua minggu terakhir saya mendengar banyak keluhan dari orang tua calon siswa yang anaknya sulit mendapat sekolah,” kata Ketut Leo, saat ditemui dirumahnya di Denpasar, Rabu (3/7).

PPDB tahun 2019 tidak memakai nilai ujian sebagai tolok ukur penerimaan calon peserta didik di sekolah negeri. Solusinya, aturan ini justru menerapkan sistem zonasi jarak terdekat dan kawasan. Terkait sistem zonasi ini, Ketut Leo menilai aturannya terkesan diskriminatif khususnya kepada para siswa yang orang tuanya merantau ke Denpasar.

“Hanya karena bapaknya tidak ber-KTP Denpasar disuruh buat domisili. Tapi saat mereka mau mengurus domosili di lingkungan tempat mereka tinggal tidak mau dibuatkan domilisi yang mereka perlukan sehingga anak mereka terancam tidak dapat sekolah. Kalau anaknya sekolah di kampung khan tidak mungkin karena orang tuanya merantau bekerja di Denpasar atau Badung,” ujarnya.

Bagi Leo, anak-anak yang orang tuanya merantau ke Denpasar ataupun Badung karena bekerja, terkesan ada diskriminasi. Padahal sekarang sudah ada e-KTP.

“Jangan sampai orang Bali yang dari Klungkung, Tabanan, Jembrana, dan yang lain jadi seperti tamu di Denpasar. Mereka orang Bali tinggal di Bali, jadi jangan dibedakan. Masak mereka seperti jadi tamu di tanah Bali,” ketusnya.

Pemerataan pembangunan yang berkeadilan, belum dirasakan seimbang. Sebutnya saja Denpasar atau Badung. Kota Denpasar merupakan pusat pemerintahan, pusat niaga, dan ibukota provinsi. Sedangkan Kabupaten Badung juga demikian. Ada bandara, hotel banyak dibangun. Secara otomatis, semua orang akan datang ke Denpasar maupun Badung untuk mencari nafkah karena lapangan pekerjaan terbuka lebar. Ketut Leo mengibaratkan, Denpasar dan Badung seperti gula, sehingga tak sedikit semut yang datang ingin mencicipi.

“Orang tuanya kerja disini, bangun rumah disini dan pasti menyekolahkan anaknya juga disini karena semua tersedia. Coba kalau seandainya di Buleleng ada bandara, Karangasem ada bandara, juga di Jembrana di Klungkung, di Bangli pembangunan tumbuh pesat seperti Denpasar dan Badung, pasti warga setempat tidak perlu harus merantau untuk bekerja. Wajarlah mereka sekolahkan anaknya di Denpasar, masak anak kecil disuruh pisah sama orang tuanya. Jadi janganlah dipersulit sekolah mereka,” ujarnya.

Menyikapi semua ini, Ketut Leo menghimbau agar sistem PPDB di tahun ajaran mendatang direvisi total. Kalaupun sistem zonasi masih akan digunakan, Ia meminta pemerintah agar melakukan pemerataan pembangunan ke seluruh Bali. Jika pembangunan sudah merata dan berkeadilan, maka perekonomian di seluruh kabupaten di Bali juga akan terasa imbasnya.

“Pemprov Bali bisa membangun sekolah di Denpasar dan Badung yang memang diperuntukkan bagi warga perantauan guna menampung anak-anak rantau dari seluruh Bali yang orang tuanya bekerja disini. Buat sentral pendidikan provinsi mulai dari sekolah dasar hingga SMA/SMK dalam satu kawasan pakai tanah aset provinsi. Daripada uangnya daerah dipakai bangun kereta api khan lebih baik bangun sekolah,” tandasnya. (red)