Categories Denpasar Hukum

Soal Arteria Dahlan dan Edy Mulyadi, Begini Pendapat Hukum “Panglima Hukum” Togar Situmorang

Denpasar (Penabali.com) – Heboh tentang nasib hasil cuitan antara Arteria Dahlan dan Edy Mulyadi dimana masyarakat sebagai Pelapor di kepolisan mengetahui Arteria Dahlan anggota DPR RI Partai PDI Perjuangan tetap bebas walau diduga ada tersangkut permasalahan hukum tentang SARA pemakaian Bahasa Sunda oleh pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dalam rapat.

Sementara Edy Mulyadi, aktivis media sosial telah ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan di Bareskrim Polri terkait ujaran kebencian karena diduga melakukan tindak pidana penghinaan dengan menyebut Kalimantan sebagai “tempat jin buang anak“

Menanggapi dari sisi terhadap dua persoalan itu, advokat dan pengamat kebijakan publik Togar Situmorang mengatakan bahwa terkait permasalahan hukum antara Arteria Dahlan dan Edy Mulyadi jelas sesuatu yang sangat berbeda dalam ruang serta maksud atau niat terkait ada tidak suatu perbuatan pidana dari seseorang dalam hal sesuatu yang dilakukan atau disampaikan.

Pihak kepolisian pasti telah memperhatikan juga mempertimbangkan rangkaian peristiwa hukum antara Arteria Dahlan dan Edy Mulyadi sehingga tidak akan gegabah apalagi proses semua tersebut sudah diterangkan ke publik melalui Humas Polri.

Togar Situmorang yang digadang-gadang akan maju pada Pilgub DKI 2024 melalui jalur independen menjelaskan bahwa Arteria Dahlan tidak adan niatan untuk melakukan provokasi atau berujar serta berucap untuk kebencian serta merendahkan martabat Bahasa Sunda didalam forum resmi rapat parlemen dalam kapasitas Arteria Dahlan sebagai Anggota Komisi III DPR RI karena melekat hak imunitas sesuai aturan hukum Pasal 24 UU RI Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR RI, DPD dan DPRD (UU MD3).

Secara formil dalam aturan apa yang disampaikan Arteria Dahlan adalah hak dan bebas bertanya atau bahkan melarang sesuatu penggunaan bahasa kesukuan dalam rapat resmi kepada Jaksa Agung RI dalam kapasitas anggota DPR RI sehingga ada hak imunitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meminta memecat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) yang telah menggunakan Bahasa Sunda saat rapat.

“Sama seperti advokat dalam persidangan untuk bertanya atau meminta saksi dalam persidangan resmi dipimpin majelis hakim terhormat berhak bertanya atau meminta menggunakan bahasa dalam bahasa secara umum yang dapat dimengerti yaitu Bahasa Indonesia sehingga bermakna dan dapat dimengerti dimana kapasitas advokat berdasarkan surat kuasa klien dan ada aturan hukum dalam Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 sesuai Pasal 15 dan Pasal 16 UU Advokat Jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-IX/2013 dalam Pasal 16 jelas disebutkan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk pembelaan klien di dalam maupun di luar persidangan,” jelasnya.

Secara materiil sesuai aturan hukum Arteria Dahlan tidak terdapat kata-kata yang mengarah ujaran kebencian karena dimaksud dalam kata-kata tersebut walau ada kedekatan emosional tidak perlu menggunakan bahasa daerah.

Pihak kepolisian sudah sangat tepat untuk tidak melanjutkan penyelidikan atas perkara Arteria Dahlan yang telah dilaporkan Masyarakat Adat Sunda terhadap anggota Komisi III DPR RI yang diduga menyinggung Bahasa Sunda ke tingkat penyidikan.

Togar Situmorang, kandidat Doktor Ilmu Hukum ini berharap agar masyarakat dapat menghormati proses hukum pihak kepolisan Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya karena tidak memenuhi unsur ujaran kebencian sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

“Ketentuan dalam rapat resmi apalagi di sidang pengadilan seluruh wilayah hukum Republik Indonesia bahasa yang digunakan wajib adalah Bahasa Indonesia,” kata advokat kondang yang punya kantor berjaringan di berbagai daerah seperti Jakarta, Bali, Bandung.

Togar Situmorang melanjutkan bahwa hal penggunaan bahasa diatur dalam Pasal 33 Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara yaitu Bahasa Indonesia yang wajib digunakan dalam rapat atau persidangan resmi di wilayah hukum Republik Indonesia.

Togar Situmorang berharap para pemimpin daerah atau institusi daerah agar dapat hati-hati dalam menggunakan bahasa daerah dalam agenda rapat resmi saat berdinas bukan menggunakan kedaerahan karena belum tentu semua yang hadir mengerti bahasa daerah yang disampaikan dan dalam hal ini pihak Kejaksaan Agung bisa melakukan evaluasi kepada jajaran agar tepat menggunakan bahasa sesuai kondisi yang ada agar tidak gaduh di publik apalagi saat rapat dewan.

Adigum persamaan hak kedudukan masyarakat dalam hukum adalah Equlity Before The Law dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 harus menjadi pedoman utama dan menjadi prinsip dasar yang harus dipegang teguh semua lapisan.

Dalam tatanan bernegara ada aturan hukum dan menjunjung azas praduga tidak bersalah atau Presumption Of Innocence sehingga semua warga negara harus tunduk kepada aturan berlaku dan bisa belajar bijak untuk tidak arogan menyampaikan sesuatu hal sehingga tidak buat gaduh.

“Negara Indonesia wajib melindungi setiap hak warga negara dalam konteks persamaan hukum dan bila pihak kepolisian negara secara transparan menghentikan laporan terhadap Arteria Dahlan harus dihormati sehingga suatu perkara ada kepastian hukum dan Adigum hukum bukan sekedar slogan tanpa arti namun dapat diharapkan akan ada kesadaran hukum di seluruh level masyarakat tentang tatanan hukum yang baik dan benar termasuk dalam suatu penyampaian pendapat dimuka umum akan berbeda penyampaian dalam ruang resmi dari anggota dewan terhormat dengan orang biasa sehingga dapat diperlakukan secara adil, efektif, efesien dan menghormati HAM orang lain sesuai dengan UUD 1945,” tutup Togar Situmorang. (rls)