Categories Nasional

Status Hiu Tikus dari “Vulnerable” jadi “Endangered”, Thresher Shark Project Indonesia Lakukan Upaya Perlindungan Hiu Tikus

Hiu tikus merupakan salah satu spesies hiu yang paling sering tertangkap di perikanan Indonesia. Di Indonesia, hiu tikus kerap dilaporkan terlihat atau tertangkap di perairan Aceh, Bali, dan Alor, Nusa Tenggara Timur.

Baru-baru ini, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengubah status hiu tikus yang semula rentan (vulnerable), berubah menjadi terancam (endangered). Perubahan status ini diakibatkan oleh populasinya yang terus menurun secara drastis. Sedangkan, upaya perlindungan hiu, khususnya hiu tikus di Indonesia masih sangat minim.

Wilayah Alor misalnya, sudah lebih dari 50 tahun para nelayan menangkap hiu tikus untuk dijual atau dikonsumsi. Untuk menangkap hiu tikus, para nelayan memodifikasi alat pancing mereka dengan menggunakan bulu ayam yang diberi benang berwarna warni. Hal ini untuk mengecoh hiu tikus, dan mengira umpan tersebut sebagai ikan kecil.

Sebenarnya, para nelayan tidak menjadikan hiu tikus sebagai tangkapan utama. Mereka hanya menangkap hiu tikus pada bulan Maret hingga Mei, saat musim jelek bagi penangkapan tuna maupun kakap. Namun, dalam kurun waktu Juli hingga Mei, sedikitnya 50 ekor hiu tikus tertangkap dengan 36 ekor betina dan 13 ekor jantan. Meski terlihat sedikit, penangkapan hiu tikus yang dilakukan setiap tahunnya dapat berdampak besar pada populasi. Hal ini lantaran, reproduksi hiu tikus sangatlah lambat.

“Kami senang saat menangkap sesuatu dari laut. Kami merasa bersyukur dengan apa yang kami dapatkan. Kami tidak pernah menargetkan apa yang ingin kami tangkap, apakah itu hiu tikus atau ikan lainnya. Kami menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan,” ungkap Suparjan, salah seorang nelayan di Desa Lewalu, Alor, NTT.

Siklus reproduksi hiu tikus hanya terjadi satu hingga dua tahun sekali, dengan jumlah anakan tidak lebih dari dua hingga empat anakan. Perlu diketahui pula, jika hiu tikus yang tertangkap oleh nelayan, sebagian besar merupakan betina yang sedang mengandung. Bayi-bayi ikan hiu tikus yang masih selamat, kemudian ditangkap oleh anak-anak nelayan untuk dilepaskan kembali. Namun, seringkali bayi-bayi hiu tikus itu tidak selamat.

Selanjutnya, untuk menangkap ikan para nelayan biasa berangkat dengan menggunakan kapal <5 GT pada pagi atau tengah hari. Pada saat pendaratan, para istri nelayan kemudian memisahkan jenis ikan dan memotong-motong kecil bagian tubuh hiu tikus. Bagian sirip akan dijual ke Larantuka untuk dikirim ke Surabaya atau Makassar. Sedangkan, bagian daging hiu tikus akan dijual para istri nelayan ke pasar Kalabahi sebagai konsumsi daging harian masyarakat sekitar. Kendati demikian, kehidupan para nelayan berada jauh dibawah rata-rata. Mereka tetap kesulitan untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, terlebih kebutuhan pendidikan.

Kondisi kegiatan perikanan di daerah lain di Indonesia pun kurang lebih sama. Para nelayan kecil menargetkan penangkapan hiu lantaran keterbatasan mereka untuk mendapatkan pekerjaan alternatif. Hal inilah yang kemudian menggerakkan Rafid Shidqi dan Dewi Ratna Sari untuk menginisiasi Thresher Shark Project Indonesia pada tahun 2018 dengan bantuan dari Conservation Leadership Program (CLP) Asia Pasifik. Tujuan utama dari Thresher Shark Project Indonesia adalah menekan angka kematian hiu tikus melalui riset dan pemberdayaan bersama masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.

Pada tahun 2019, dengan bantuan Conservation Leadership Program (CLP), Thresher Shark Project Indonesia berhasil melakukan beberapa kegiatan antara lain, memasang satelit MiniPAT pada tubuh hiu tikus untuk mengetahui habitat dari spesies ini. Selain mempelajari spesies, Thresher Shark Project Indonesia melakukan survei masyarakat, terkait penangkapan hiu tikus.

“Dari hasil survei tersebut, umumnya masyarakat tidak memahami pentingnya aturan konservasi dan menjaga populasi hiu tikus. Hal ini lantaran, mereka takut jika aturan itu berlaku akan mempengaruhi mata pencaharian mereka,” kata Co Founder dan Project Leader Thresher Shark Project Indonesia, Rafid Shidqi, Kamis (13/08/2020).

Meski demikian, kehadiran Thresher Shark Project Indonesia disambut baik masyarakat. Mereka merasa kehadiran Thresher Shark Project Indonesia dapat memberikan harapan baru. Selain itu bersama pemerintah, Thresher Shark Project Indonesia juga melakukan jajak pendapat. Pemerintah dan warga pun sepakat untuk memberlakukan aturan konservasi hiu tikus di Alor, dengan catatan warga diberi pelatihan ketrampilan baru.

Kemudian di tahun yang sama pula, Thresher Shark Project Indonesia berhasil menjangkau 141 siswa lokal di sekolah dasar yang terletak di dua desa nelayan hiu, 113 mahasiswa dari dua universitas, dan 17 komunitas pemuda serta organisasi lokal untuk mensosialisasi pentingnya perlindungan terhadap hiu tikus.

Pada tahun 2020, Thresher Shark Project Indonesia kembali mendapat bantuan dana dari MAC3 Impact Philanthropies, Shark Conservation Fund, Rockefeller Philanthropy Advisors, dan East West Center. Untuk itu, tahun ini Thresher Shark Project Indonesia bersama dengan pemerintah akan merumuskan sebuah kebijakan baru untuk memberikan perlindungan hiu tikus. Dengan harapan, kebijakan yang baru ini tidak merugikan komunitas lokal dan masyarakat. Kebijakan yang baru tentu harus dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat Alor, dan tidak hanya menguntungkan pihak tertentu. Lebih jauh lagi, kebijakan yang dibentuk dapat diimplementasikan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, Thresher Shark Project Indonesia juga berencana untuk mengembangkan para pemuda Alor, untuk menjadi penjaga lautan melalui program Thresher Shark Champion.

Selanjutnya, pada tahun yang sama Thresher Shark Project Indonesia juga berencana untuk membangun jaringan akustik telemetri pertama di beberapa dugaan sebagai cleaning station hiu tikus. Harapannya, jaringan ini akan membantu memonitor secara jangka panjang dan memperkuat fungsi dari lokal Marine Protected Area (MPA) saat ini di Alor. Jaringan akustik ini juga bisa menjadi salah satu fungsi untuk mengembangkan aktivitas pariwisata dan mendukung upaya konservasi di tahun-tahun kedepan.

Selain projek di Alor, Thresher Shark Project Indonesia memiliki projek dengan jangkauan lebih luas yang membutuhkan bantuan dari masyarakat, Citizen Science. Program ini membutuhkan bantuan dari masyarakat seluruh Indonesia untuk dapat membuat laporan saat melihat hiu tikus dalam keadaan hidup atau mati.

“Laporan dari masyarakat nantinya akan kami olah menjadi sebuah data untuk mengetahui habitat dan perpindahan hiu tikus di Indonesia,” ujar ucap Rafid Shidqi.

Thresher Shark Project Indonesia memiliki tiga fungsi utama. Pertama, adalah untuk melakukan penelitian terkait habitat dan perpindahan hiu tikus melalui satelit tagging dan citizen science. Kedua adalah, melakukan wawancara mengenai ketergantungan terhadap perikanan hiu. Ketiga, adalah melakukan outreach dan edukasi melalui kolaborasi bersama stakeholder terkait.

Tentang Thresher Shark Project Indonesia

Thresher Shark Project Indonesia berdiri pada tahun 2018 dengan dukungan awal dari Conservation Leadership Programme (CLP) untuk wilayah Asia Pasifik. Projek ini bertujuan untuk melindungi hiu tikus (Alopias pelagicus) yang terancam punah dan berbasis di Pulau Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

“Pendekatan kami adalah dengan melakukan penelitian habitat hiu, ketergantungan masyarakat terhadap perikanan hiu, serta penjangkauan dan pendidikan terkait konservasi hiu tikus ke sekolah-sekolah dan komunitas lokal,” jelasnya.

Anggota Thresher Shark Project Indonesia:

1. Rafid Shidqi selaku Co Founder dan Project Leader;

2. Dewi Ratna Sari selaku Co Founder dan Program Manager;

3. Gisela Emanuela Nappoe selaku Monitoring and Evaluation Coordinator;

4. Ahmad Hilmy Mubarak selaku Creative and Digital Media Coordinator;

5. Primiaty Natalia selaku Government and Communication Relations Coordinator;

6. Vivekananda Gitandjali selaku Communication Manager;

7. Putri Martosudarmo selaku Youth Engagement and Partnership Coordinator

Project Advisor:

Dr. Mark V. Erdman

Partner Thresher Shark Project Indonesia:

1. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur;

2. Pemerintah Kabupaten Alor;

3. Conservation International;

4. Thrive Conservation;

5. Indonesian Ocean Pride;

6. Shawn Heinrichs;

7. BIONESIA;

8. Found at Sea Collective;

9. Coaching for Cause;

10. Aliansi Bahari Alor. (red)