Jakarta (Penabali.com) – Ade Putra, seorang driver dari Lalamove, sebuah jasa pengiriman barang cepat di area Jabodetabek, mengeluhkan kondisi saat ini.
“Kita (kurir, red) itu sering banget disuruh antar barang yang besar, padahal kami pakai motor. Belum lagi, pendapatannya gak seberapa. Dulu sih masih besar, tapi sekarang argonya kecil dari aplikator,” keluh Ade Putra.
Ade mengatakan, selama ini banyak sekali kurir yang mendapatkan penghasilan di bawah rata-rata. Padahal jam kerja mereka bisa dari pagi hingga malam atau kira-kira 14 jam per harinya.
Belum lagi banyaknya kendala di lapangan sampai ancaman kekerasan yang sering mereka dapatkan. Misalnya diancam menggunakan senjata oleh pembeli. Atau driver harus kena suspend karena tidak bisa menyelesaikan target pengiriman.
Kondisi itu lantas mendorong Emancipate Indonesia bersama dengan teman-teman yang tergabung dalam Serikat Pekerja 4.0 membuat petisi #LindungiKurir. Mereka meminta Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah memberikan standar perlindungan kepada para kurir. Sampai saat ini petisi tersebut sudah mendapatkan 8.000 lebih dukungan dari masyarakat.
Selain itu, pada awal Agustus lalu para perwakilan kurir juga sudah melakukan audiensi dengan Menaker Ida Fauziyah. Mereka menceritakan kondisi para kurir di lapangan. Hasil dari pertemuan itu, rencananya akan ditindaklanjuti Kementerian Ketenagakerjaan untuk dicarikan solusinya.
“Perusahaan jasa kurir wajib menjamin hak kurir. Dari upah, jam kerja, beban kerja, hingga jaminan kesehatan harus layak. Kami terus mengawal pemerintah untuk mengkaji pola kemitraan agar tidak eksploitatif bagi kurir,” ujar Margianta Surahman selaku Executive Director Emancipate Indonesia di Jakarta, Rabu (25/08/2021).
Sementara dari sisi hukum, sampai saat ini belum ada payung hukum yang bisa melindungi para kurir. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, tidak berbicara konteks pidana yang melindungi kurir. Melainkan konteks norma kesehatan dan keselamatan kerja.
Margianta mengungkapkan, hubungan perusahaan penyedia jasa dengan kurir hanyalah mitra. Ini tentu membuat kurir semakin tidak terlindungi. Karena mereka tidak mendapatkan payung hukum sebagai pekerja dalam perusahaan penyedia jasa dimana tempat mereka bekerja.
“Payung hukum perlindungan kurir bisa dikatakan tidak ada. Karena hubungan kemitraan tidak masuk dalam pengaturan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Padahal banyak jenis kemitraan kurir yang sekarang ini seharusnya bisa dikatakan hubungan kerja, karena memberi upah, perintah, dan pekerjaan adalah si aplikator langsung. Karena fleksibilitas 4.0 dan hubungan kemitraan seperti sekarang makin tidak bisa dipisahkan, maka hal terkait kesejahteraan ‘mitra’ kurir harus kita antisipasi bersama,” ujar akademisi UGM, Nabiyla Risfa. (rls)