Denpasar (Penabali.com) – Manggala Utama Pasikian Paiketan Krama Istri Desa Adat Bali (Pakis Bali) Ny. Putri Suastini Koster mengajak seluruh masyarakat untuk bersama -sama memperkuat serta melindungi keberadaan tarian sakral yang dewasa ini seringkali ditampilkan di tempat serta acara yang tidak sesuai dengan pakem yang seharusnya.
Ny. Putri Suastini Koster saat menjadi salah satu narasumber dalam acara Wirasa yang ditayangkan secara live dari Studio TVRI Denpasar, Selasa (27/10/2021) malam, menyampaikan dewasa ini terjadi euforia di tengah masyarakat yang menampilkan tarian sakral tidak sesuai dengan tempat serta fungsinya. Padahal, tarian sakral atau yang disebut juga tarian wali hanya dapat dipentaskan di tempat terpilih, penari terpilih dan dalam suatu upacara agama tertentu.
“Belakangan ini seringkali kita melihat tarian Rejang ditarikan untuk tarian penyambutan ataupun untuk tujuan lain selain upacara agama padahal tarian Rejang adalah salah satu tarian sakral yang dipentaskan hanya di tempat serta acara tertentu saja, tidak bisa dipentaskan untuk tujuan selain berhubungan dengan upacara agama, untuk itu kita harus bangun kesadaran bersama, kita kembalikan tarian sakral ini ke pakemnya masing masing,” imbuhnya.
Seniman multi talenta ini juga menambahkan sosialisasi di tengah masyarakat terkait keberadaan tarian sakral harus terus dilakukan sehingga masyarakat menjadi paham tarian mana yang masuk dalam tarian wali, tarian bebali dan tarian balih balihan.
“Pakis Bali memegang peran yang sangat strategis dalam sosialisasi keberadaan tarian sakral ini, jika ada tarian sakral yang hampir punah kita gandeng stakeholder terkait untuk merekonstruksi kembali tarian tersebut, kita perkuat, lindungi dan jaga kelestarian dari tarian sakral yang ada di masing masing desa adat,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Gede Arya Sugiartha. Menurutnya, euforia menarikan tari sakral seperti Tari Rejang tidak sesuai pakemnya perlu mendapat perhatian serius. Perlu dilakukan sosialisasi serta pemahaman kepada masyarakat yang mana merupakan tari wali, tari bebali maupun tari balih-balihan.
Demikian pula halnya dengan tari wali yang ada di desa-desa adat yang hampir punah dan jarang sekali ditampilkan dapat direkonstruksi dengan menggandeng stakeholder terkait baik ISI Denpasar, Dinas Kebudayaan serta pemangku kebijakan lainnya. Dengan demikian, tarian wali tidak punah namun akan semakin kuat dan terjaga kelestariannya. (rls)