Categories Denpasar Upakara

Terkait Panca Wali Krama di Besakih, PHDI Bali: Tidak Boleh Ngaben dari 20 Januari sampai 4 April 2019

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali melalui keputusan pesamuhan madya nomor 01/PESAMUHAN-MADYA/PHDI-BALI/VIII/2018 yang memutuskan salah satunya, bahwa masyarakat tidak diperkenankan melaksanakan atiwa-tiwa atau upacara pengabenan terhitung mulai tanggal 20 Januari sampai dengan 4 April 2019.

Pada keputusan PHDI tersebut juga diatur apabila ada yang meninggal pada tanggal tersebut maka diperbolehkan mekinsan di pertiwi yang dilakukan pada malam hari namun tidak mendapatkan tirta pengentas. Selanjutnya apabila yang meninggal adalah Sulinggih (dwijati), Pemangku atau mereka yang menurut dresta tidak boleh dipendem (secepatnya dikremasi) dan juga diperkenankan untuk “ngelelet sawa”, bagi yang masih berstatus walaka tidak sampai munggah tumpang salu. Sedangkan bagi Sulinggih (dwijati) dapat dilanjutkan sampai munggah salu.

Dalam keputusan PHDI Bali itu, juga disebutkan bila memiliki jenazah atau “layon” yang belum diaben, agar nunas tirta pamarisudha dari Pura Dalem Puri Besakih yang sebelumnya sudah dibagikan kepada seluruh umat Hindu di Bali, kemudian dipercikkan ke jenazah dengan terlebih dahulu menghaturkan upacara. Sementara umat Hindu yang berada diluar Bali dapat melaksanakan Yasa Kerti disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.

Namun dalam pelaksanaannya, banyak masyarakat yang salah persepsi atau belum mengetahui secara jelas terkait isi hasil keputusan Pesamuhan Madya PHDI Provinsi Bali tersebut. Banyak masyarakat memaknainya dengan tidak melaksanakan prosesi penguburan dan justru menitipkan jenazah di rumah sakit (RS) sehingga banyak RS yang mengalami overload akibat terus meningkatnya penitipan jenazah tak sebanding dengan kapasitas yang dimiliki.

Terkait hal itu, Gubernur Koster berharap agar masyarakat dapat mengikuti keputusan yang telah dikeluarkan oleh PHDI. Menurut Gubernur Koster, dirinya tidak memiliki kewenangan lebih dalam mengambil keputusan terkait dengan keputusan yang telah ditetapkan melalui Pesamuan Madya. Namun demikian, Ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali ini mendukung penuh apa yang menjadi keputusan PHDI terkait dengan pelaksanaan karya Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih.

“Saya sebagai Gubernur tidak punya kewenangan untuk mengambil tindakan terkait hal ini. Yang punya kewenangan itu PHDI dan MUDP. Pertemuan ini dalam rangka mencarikan jalan keluar terkait masalah yang terjadi. Apa yang telah diputuskan harus kita laksanakan, kita harus tau apa isi dari keputusan itu agar tidak salah persepsi dan menjadi masalah sehingga mengganggu pelaksanaan karya di Pura Besakih,” ujar Gubernur Koster saat menggelar rapat dengan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali terkait penanganan “layon” atau jenazah yang banyak dititipkan di rumah sakit, di Ruang Rapat Praja Sabha, Kantor Gubernur Bali, Selasa (19/3).

Gubernur Bali Wayan Koster.

Permasalahan yang terjadi saat ini sejatinya telah diatur dalam keputusan PHDI namun banyak masyarakat yang tidak mengikuti. Untuk itu, Ia berharap agar semua pihak bisa melaksanakan keputusan dengan baik sehingga permasalahan ini tidak berkelanjutan.

Hal senada juga disampaikan Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha. Ia menghimbau masyarakat untuk tidak menitipkan lagi “layon” di Rumah Sakit. Menurutnya, seharusnya jenazah dihormati dan ditempatkan dengan baik.

“Tapi yang sekarang terjadi, banyak jenazah begitu saja ditempatkan di rumah sakit. Kalau tidak segera di lakukan upacara, kan cukup lama jadinya “cuntaka” (berduka). Selain itu juga tidak bisa mengikuti prosesi karya Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih yang dilaksanakan setiap 10 tahun,” ungkapnya.

Ditambahkan, sebenarnya jenazah yang meninggal saat upacara Panca Wali Krama bisa dikuburkan seperti biasa (mekinsan di pertiwi) atau mekinsan di geni. Sesuai dengan aturan yang ada, maka jenazahnya bisa dipendam (dikubur).

“Jenazah itu bisa dikuburkan setelah matahari terbenam atau dikuburkan secara diam-diam. Ini berlaku untuk orang biasa. Sementara untuk orang-orang suci seperti pedanda, pemangku maka bisa mekinsan di geni. Masyarakat atau umat Hindu seharusnya paham, bahwa baik mependem (dikubur) atau mekinsan di geni itu bukan upacara ngaben. Yang dilarang itu hanya ngaben. Ini harus dipahami,” paparnya.

Sementara Ketua PHDI Provinsi Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan, terjadi kesalapahaman umat Hindu soal jenazah yang dititipkan di rumah sakit di Bali selama ini, sehingga mengakibatkan overload di beberapa rumah sakit.

“Ini terjadi kesalahpahaman oleh umat Hindu. Yang tidak diperbolehkan itu ngaben, kalau mekinsan di pertiwi atau di geni boleh. Ini ada salah paham, sehingga jenazah keluarga yang ditingalkan dititipkan di rumah sakit. Ini tidak benar,” ujarnya.

Untuk itu Ia meminta agar bagi masyarakat yang menitipkan jenazahnya di rumah sakit agar segera diambil untuk dikuburkan atau mekinsan di geni. (red)