Jika dulu ada istilah, “mulutmu harimau mu”, maka sekarang di era digital berganti menjadi “jarimu harimau mu”. Istilah ini bisa dikatakan menggambarkan perseteruan antara Muhamad Said Didu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
Konflik keduanya berawal dari postingan Said Didu yang mengunggah sebuah video bertajuk ‘MSD: LUHUT HANYA PIKIRKAN UANG, UANG, DAN UANG’. Video berdurasi 22 menit 44 detik tersebut ditanggapi pihak Luhut Binsar Pandjaitan, yang dalam hal ini diwakilkan Juru Bicara Kemenko, Jodi Mahardi, yang meminta Said Didu minta maaf. Jika dalam 2×24 jam tidak ada permintaan maaf, sebut Jodi, pihaknya akan menempuh jalur hukum.
Menanggapi kejadian tersebut, advokat senior Togar Situmorang, S.H., M.H., MAP., mengatakan hidup dalam negara demokrasi dengan adanya perbedaan pendapat, sebenarnya adalah sesuatu yang wajar dan tidak bermasalah. Sebab negara dan konstitusi sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Akan tetapi, Ketua Hukum dari RS dr. Moedjito Dwidjosiswojo Jombang Jawa Timur ini menyatakan jangan baru dibilang adanya kebebasan berpendapat maka jadi seenaknya atau asal bicara tanpa ada batasan dalam hal mengkritik seseorang.
“Mengingat kita hidup di era teknologi yang maju dan berkembang maka bisa dengan mudah untuk disampaikan dengan menggunakan banyak media dan jika perhatikan hal ini menjadi penting,” ucap advokat yang terdaftar didalam penghargaan Indonesia Most Leading Award 2019 dan terpilih sebagai The Most Leading Lawyer In Satafactory Performance Of The Year.
Togar Situmorang meminta terkait kasus Said Didu dengan Luhut Binsar Pandjaitan, agar pihak kepolisian serius dalam menangani laporan ini sehingga tidak terjadi polemik di masyarakat. Ia menyatakan, jika memang Said Didu salah dan memenuhi unsur pidana maka segera diambil tindakan. Begitu juga sebaliknya. Jika memang pandangan kepolisian kasus ini unsur hukumnya tidak memadai, maka segera ditutup saja kasus ini.
Selain itu, kata Togar Situmorang, Polri harus bertindak aktif dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait adanya dugaan pencemaran nama baik dalam ruang lingkup ITE ini. Selain tindakan pencemaran nama baik di bidang ITE sangat mengkhawatirkan, oleh sebab itu Polri sebagai alat negara berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang ITE itu lahir salah satunya untuk mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi.
Untuk bisa menjalankan penegakan hukum dalam undang-undang ini, ada beberapa lembaga yang berperan aktif yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti Badan Reserse Kriminal, Unit IV Cybercrime dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Kementerian Komunikasi dan Informatika yang berperan sebagai regulator, Indonesia Security Incident Response Team On Internet Infrastructure, Indonesia Computer Emergency Response Team, dan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI). Togar Situmorang menegaskan, karena kejahatan bidang ITE ini begitu kompleks maka harus ada banyak pihak yang membantu.
“Kita harus bisa bedakan antara pendapat atau kritik dengan menyerang. Kalau pendapat atau kritikan itu hal yang bagus yang bertujuan untuk memperbaiki diri asalkan ada suatu solusi. Akan tetapi beda halnya dengan tindakan menyerang atau mencemarkan nama baik dimana itu merupakan suatu tindak pidana yang bertujuan tidak baik dan bisa menimbulkan perpecahan,” kata advokat yang dikenal dengan sebutan ‘Panglima Hukum’ ini.
Ia menambahkan, pencemaran nama baik melalui internet atau media sosial saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Bila disebarkan dalam bentuk hasutan dan menyebar dan berputar di media sosial, maka akan berdampak pada konflik dari individu, komunal, dan antar kelompok yang melahirkan disintegritas bangsa.
Sejatinya kritik seharusnya disampaikan dalam rangka memperbaiki pendapat atau perilaku seseorang. Bukan didasarkan atas kebencian terhadap seseorang. Kritik, dilakukan dengan menggunakan pilihan kata yang tidak menyinggung perasaan, sopan dan bijaksana. Tetapi, tetap tidak mengurangi ensensi kritiknya.
Berdasarkan pandangan dari Togar Situmorang apabila benar adanya dugaan pencemaran nama baik dalam kasus ini, maka bisa dikenakan pasal 310 ayat (1) KUHP jo Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Seperti halnya yang terjadi dengan salah satu klien dari Togar Situmorang Law Firm, dimana gara-gara men-tag seseorang di media sosial malah sekarang sudah dijadikan tersangka atas dugaan pencemaran nama baik oleh pihak Polda. Padahal belum tentu dengan kebenarannya yang terjadi. Karena itu Togar Situmorang mengingatkan semua orang agar lebih berhati-hati, bijak, santun, sopan, dan beretika dalam bersosial media.
“Oleh sebab itu kita sebagai masyarakat Indonesia yang terkenal dengan etika dan sopan santunnya harus bisa mengontrol diri dalam berbicara atau mengkritik terutama di media sosial sebab apabila kita salah memberikan informasi akan berakibat fatal dan bisa merugikan orang lain serta diri kita sendiri, selain itu sanksi pidananya juga tidak main-main,” tutup Founder dan CEO Firma Hukum di Law Firm TOGAR SITUMORANG Jl. Tukad Citarum No. 5 A Renon (kantor pusat), Jl. Gatot Subroto Timur No. 22 Kesiman Denpasar (kantor cabang I), dan di Gedung Piccadilly Jl. Kemang Selatan Raya No.99, Room 1003-1004, Jakarta Selatan (kantor cabang II). (red)