Buleleng (Penabali.com) – Perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0 ini memberikan peluang dan tantangan bagi pelaku usaha. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus mengikuti perkembangan digitalisasi. Transformasi digital mengubah cara pandang, budaya, dan perilaku pelaku usaha dalam pemanfaatan teknologi menjadi lebih berpusat kepada pelanggan khususnya dalam interaksi.
Segmen pasar di era digitalisasi saat ini tentunya sangat besar. Masyarakat dari usia anak-anak hingga dewasa, golongan bawah hingga atas tidak lepas dari perangkat teknologi seperti handphone.
Peluang besar ini menjadi tantangan bagi pelaku usaha. Penggunaan platform digital kini makin menjamur. Hal ini yang mendorong pemerintah untuk meningkatkan kemampuan para pelaku usaha khususnya sekala mikro dan menengah untuk dapat lebih efisien meminimalisasi kehilangan pasar, menjangkau jaringan pemasaran yang lebih luas, mendukung psycal distancing dan sosial distancing, mempercepat pertumbuhan UMKM.
Program yang bertujuan mencetak talenta digital yang saat ini memiliki aktivitas pada bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ini digelar Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian dan Statistik (Kominfosanti) Kabupaten Buleleng bersinergi dengan Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Penelitian (BPSDMP) Kominfo Yogyakarta dibawah Kementerian Kominfo RI telah melaksanakan pelatihan Digital Enterpreneurship Academy (DEA). Upaya ini untuk mendukung UMKM Buleleng menuju Go Digital.
Salah satu peserta yang mengikuti DEA ini, yakni pengusaha dupa dari Desa Sambangan bernama Tiya yang sudah merintis usaha dupa sejak tahun 2018 bersama suaminya. Walaupun usahanya saat ini terbilang berhasil, namun Tiya sangat tertarik mengikuti pelatihan ini. Alasannya, ingin meningkatkan kapasitas dirinya dalam berwirausaha untuk memajukan dan memgembangkan usaha dupanya dalam dunia digital kedepannya.
Menilik lebih jauh tentang usahanya yang berlokasi di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Tim Majalah Singa Manggala berkesempatan melihat secara langsung proses pembuatan dupa milik Tiya.
Pengusaha muda bernama lengkap Nyoman Tiya Martini (27 tahun) ini menggeluti usaha dupa dengan nama “Dupa Ajeg Bali” sejak tahun 2018. Dirinya merintis bukan melanjutkan usaha orang tuanya, melainkan idenya itu muncul saat dirinya tidak kunjung dipanggil sebagai karyawan padahal memiliki ijasah Magister Pendidikan Undiksha Singaraja. Sedangkan suaminya, Made Indra Parmadika (29 tahun), juga tamatan Undiksha Singaraja Jurusan S1 Akutansi, memiliki tekad untuk berwirausaha membuat dupa.
Tiya Martini menceritakan perjalanan usahanya yang dia rintis sejak tahun 2018 dengan bermodalkan mesin 1 unit, kini menjadi 6 unit mesin dengan memperkerjakan 13 karyawan, dengan omzet awal 30 jutaan, kini sudah mengantongi omzet 200 juta rupiah per bulan.
”Ide usaha dupa ini sangat sederhana, karena dupa bagi masyarakat Bali merupakan kebutuhan pokok sebagai sarana persembahyangan. Berangkat dari itu dan bermodalkan keteguhan, komitmen kami merintis usaha ini, jadilah sampai saat ini,” ucap Tiya mengawali obrolan dengan Tim Singa Manggala.
Lebih lanjut, Tiya menuturkan, usaha pembuatan dupa ini dulunya dibangun di atas lahan seluas 2 are. Kemudian berkembang di sebelahnya menjadi 4 are. Perkembangan usaha yang dia rintis sangat dibantu oleh perbankan dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
”Secara bertahap kami kembangkan usaha, mulai penambahan mesin, kini mesin pemecah bambu, mesin pembuat lidi juga kami adakan, perluasan tempat usaha yang kini bisa dibangun 2 lantai dan menambah bahan baku dupa, dimana bahan baku 1 ton per bulan kami kelola untuk membuat dupa,” terangnya.
Berbekal mesin dan bahan baku tersebut, dirinya mampu memproduksi beberapa jenis dupa dengan berbagai ukuran dan aroma.
”Dupa yang kami produksi berukuran 16 cm, 22 cm, 28 cm dan 32 cm. Ada pula dupa aroma terapi dengan dengan daya tahan selama 2 jam sampai 5 jam. Dupa ukuran 16 cm dan 22 cm banyak dicari konsumen dari Buleleng dengan harga Rp.30 ribu sampai Rp.35 ribu untuk kualitas ekonomi dan Rp.40 ribu sampai Rp.50 ribu kualitas premium,” terangnya.
Disinggung adanya pandemi Covid-19 dalam menjalankan usahanya, Tiya yang bermukim di Baktiseraga ini mengatakan, justru pandemi ini penjualan dupanya meningkat dan banyak reseler dupa yang ingin bergabung memasarkan dupanya.
”Mungkin pandemi ini banyak yang di rumah, banyak instruksi-instruksi untuk melakukan persembahyangan dari pemerintah, mungkin itu yang menyebabkan, sehingga usaha dupa kami tidak terpengaruh. Astungkara per bulan kami memperoleh omzet sampai Rp.200 juta,” ungkapnya.
Disinggung kembali terkait motivasinya pasca mengikuti pelatihan digital keuangan yang diselenggarakan Kominfosanti Kabupaten Buleleng, Tiya mengatakan akan terus melebarkan pemasarannya, mulai dengan peningkatkan kualitas produk, pengemasan produk yang menarik, tampilan produk di dunia digital, sehingga konsumen di seluruh Indonesia bisa kami jangkau dan juga akan menggunakan platform-platform digital untuk marketingnya.
”Pelatihan sejenis inilah yang sangat kami harapkan, dulunya hanya wacana-wacana saja dalam benak saya untuk memasarkan produk, saat ini wawasan kami menjadi terbuka akan peluang-peluang pasar,” pungkasnya. (rls)